Minggu, 25 Januari 2015

Ms. Perfect & Mr. Jail (Cerpen Chelgas)





Sudah lima belas menit lebih Chelsea berdiri di depan cermin. Dia mengamati bayangan dirinya di cermin. Seragam putih abu-abu yang rapi, rambut panjang dan lurus yang sudah tersisir rapi, serta make-up minimalis di wajahnya yang membuatnya terlihat semakin cantik. Terakhir, Chelsea memakai jepit rambut kecil berbentuk pita warna pink di rambutnya.
"Hmm... perfect!" Chelsea tersenyum puas.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Chelsea mengambil tas sekolahnya dan berjalan ke ruang makan.
"Pagi, Ma!" sapa Chelsea semangat pada Mamanya sesampainya di ruang makan.
"Pagi, sayang!" balas Mamanya sembari tersenyum.
"Lho, Papa mana, Ma?" tanya Chelsea menyadari Papanya tidak ada di ruang makan.
"Papa mendadak sekali tadi pagi harus ke Bandung. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Oh..." Chelsea manggut-manggut.
Chelsea memakan satu potong roti tawar dengan selai cokelat yang sudah disiapkan Mamanya.
"Neng Chelsea, ini bekalnya." Bi Tati, pembantu di rumah Chelsea, memberikan bekal makanan untuk Chelsea.
Chelsea menerimanya sembari tersenyum. "Makasih, Bi."
Setiap hari Chelsea memang sengaja membawa bekal makanan dari rumah, dengan alasan dia tidak menyukai makanan di kantin sekolahnya-yang menurutnya-tidak steril.
"Ya udah, Ma. Chelsea berangkat dulu ya," pamit Chelsea.
Setelah menghabiskan satu gelas susunya, Chelsea mencium tangan Mamanya dan berjalan menuju mobil Yaris putih yang sudah terparkir manis di depan rumah. Chelsea mengamati mobilnya sejenak. Mobil itu sudah bersih tanpa ada debu yang menempel sedikit pun.
"Mobilnya sudah siap, Neng," ucap Mang Ujang, sopir pribadi keluarga Chelsea.
"Makasih, Mang..." Chelsea tersenyum.
Mang Ujang mengangguk. Mang Ujang sudah bekerja pada keluarga Chelsea selama tiga tahun. Jadi Mang Ujang sudah hafal dengan majikannya yang satu itu. Chelsea mau segala sesuatunya selesai dengan tepat waktu, rapi dan pastinya perfect. Begitu pun dengan masalah mobil. Mobil terlihat kotor sedikit saja, Chelsea bisa langsung complain.
Chelsea masuk ke mobil dan mulai menjalankannya.

***

Empat sekawan terlihat sedang berada di tempat parkir sekolah. Mereka adalah Bagas, Difa, Gilang dan Josia.
"Gas, Cepetan! Keburu ada yang liat!" seru Difa pada Bagas.
"Iya, bentar lagi." Bagas, orang yang dimaksud Difa, terlihat sedang mengutak-atik ban salah satu mobil yang terparkir di parkiran sekolah.
"Buruan!" seru Difa lagi.
Bagas berdiri dan tersenyum puas. "Rasain lo, Raf!"
Gilang dan Josia yang melihat tingkah sahabatnya yang satu itu, cuma geleng-geleng kepala. Bagas baru saja ngempesin ban salah satu mobil.
Kalau dilihat dari penampilannya, Bagas memang cowok yang ganteng dan keren. Hampir semua cewek di sekolah mengaguminya. Tapi sifat aslinya jail banget, nggak bisa diam dan sering bikin masalah di sekolah. Guru-guru saja sampai mengelus dada menghadapi tingkahnya. Karena sifat jailnya itu, nggak salah kalau Bagas dijuluki "Mr. Jail" oleh teman-temannya.
"Yakin lo, Rafli nggak bakalan tau?" tanya Gilang takut-takut.
"Udah, lo tenang aja. Dijamin aman," ucap Bagas yakin. "Lagian... salah siapa, baru jadi Ketos aja udah belagu banget. Pake ngelaporin kita ke guru BP lagi, waktu kita ribut sama kelas sebelah kemarin."
"Iya, bener banget. Gue juga kesal sama dia. Sok kegantengan banget dia. Padahal udah jelas-jelas gantengan gue," kata Difa pede.
"Gantengan gue lah. Kalian tau kan kalo banyak Bagas Lovers yang rela antre buat jadi pacar gue?" kata Bagas nggak kalah pede.
"Eh, jangan salah! Banyak Difamili juga yang mau jadi pacar gue." Difa nggak mau kalah.
Saking banyaknya fans Bagas dan Difa, masing-masing sampai membuat komunitas sendiri. Bagas Lovers untuk nama fans Bagas dan Difamili untuk nama fans Difa.
"Ya elah, gitu aja diributin! Kalian berdua tuh kepedean banget. Gue yang paling ganteng juga diam aja," celetuk Josia yang langsung disambut toyoran oleh tiga sahabatnya.
"Eh, ada si cupu lewat tuh," tunjuk Gilang pada seorang cowok berkaca mata tebal yang hendak melewatinya.
Pandangan Bagas tertuju pada seseorang yang ditunjuk Gilang. Bagas tersenyum jail, sebuah ide muncul di otaknya.
"Eh, sini lo!" teriak Bagas pada cowok cupu itu.
Yang dipanggil menoleh. "Panggil aku, Kak?" tanyanya polos.
"Ya iya lah, masa panggil nenek lo! Sini lo!" ujar Bagas lagi.
Cowok cupu itu mendekati Bagas dengan wajah takut. "Ada... apa ya, Kak...?" tanyanya terbata.
"Siapa nama lo?"
"Ivan, Kak...," jawab cowok itu sembari menunduk. Dia tidak berani menatap Bagas.
"Kenapa pake tanya nama? Kan dia pake name tag, bego!" kata Difa pada Bagas.
Bagas baru tersadar saat melirik ke arah name tag yang terpasang di seragam cowok itu. "Oh iya, bego juga gue!"
Gilang dan Josia cekikikan. Tapi tawa mereka segera terhenti saat Bagas melirik mereka tajam.
Pandangan Bagas kembali terarah pada Ivan. Bagas memandang Ivan dari ujung kaki sampai ujung rambut, lalu tertawa mengejek.
"Cupu banget sih lo? Sini gue dandanin biar keren!"
Bagas memulai aksinya. Dia membuka kancing kemeja Ivan paling atas dan melonggarkan sedikit dasi yang dipakai Ivan.
"Aku... mau... diapain, Kak?" tanya Ivan takut.
"Udah, lo nggak usah banyak nanya! Lo liat hasil karya gue nanti." Bagas tersenyum jail. Ivan hanya bisa pasrah.
Bagas mengeluarkan kemeja Ivan dari celana. Seragam Ivan yang awalnya sudah rapi, jadi terkesan berantakan. Rambut klimis Ivan diacak-acak. Terakhir Bagas melepas kacamata tebal Ivan.
"Jangan dilepas kacamatanya, Kak! Nanti aku nggak bisa liat dengan jelas..." Ivan memohon.
"Bagusan gini lagi, Van! Kacamata lo ini... udah nggak berguna," kata Bagas sambil menunjuk kacamata itu. "Lo pake softlense aja! Kacamatanya gue buang aja ya," lanjutnya seraya melemparkan kacamata Ivan sembarangan. Tapi seseorang menangkapnya.
"Jangan, Kak! Tolong balikin kacamata aku!" kata Ivan panik.
"Udah gue buang," jawab Bagas cuek.
Difa, Gilang dan Josia jadi kasihan melihat Ivan. Kadang Bagas memang keterlaluan.
"HEH!" teriak seseorang di belakang Bagas.
Sontak Bagas dan lainnya menoleh. Chelsea, orang yang tadi menangkap kacamata Ivan, berjalan mendekat.
"Oh... ada Miss Perfect kita datang!" Bagas bertepuk tangan, berpura-pura senang menyambut kedatangan Chelsea.
Chelsea menatap Bagas tajam. "Lo apain dia?" tanya Chelsea sambil menunjuk Ivan.
"Gue cuma bantu dandanin dia aja kok. Liat dong hasil karya gue! Keren, kan?" kata Bagas bangga.
"Keren apanya? Dandanan kayak preman pasar gini kok dibilang keren?" Chelsea geleng-geleng kepala, lalu menatap Ivan. "Nih... kacamata lo." Chelsea memberikan kacamata itu pada pemiliknya.
Ivan memakai kacamata itu dan segera memakainya. "Makasih ya, Kak. Aku ke toilet dulu," pamit Ivan.
Chelsea mengangguk. Ivan buru-buru berlari ke toilet untuk merapikan kembali dandanannya seperti semula.
"Lo tuh ya, nggak ada kapok-kapoknya cari masalah sama orang! Gue heran deh, hukuman dari guru aja kayaknya nggak mempan buat lo!" semprot Chelsea.
Bagas tersenyum sinis. "Dan kenapa lo suka banget ikut campur urusan orang?" tanya Bagas tajam. "Oh... gue lupa! Lo kan ceweknya Rafli, lo sama aja kayak cowok lo yang suka banget ikut campur urusan orang."
"Terserah apa kata lo deh. Nggak ada gunanya gue ngomong sama orang kayak lo." Chelsea hendak pergi, tapi satu tangannya ditahan oleh Bagas.
Bagas menatapnya tajam. "Urusan kita belum selesai. Gue akan membuat lo menyesal karena udah ikut campur urusan gue!"
Chelsea balas menatapnya tajam. "Gue nggak takut!" katanya sambil menarik tangannya kasar. Lalu berjalan meninggalkan Bagas.

***

Setelah bel masuk berbunyi, Chelsea memasuki kelas bersama dua sahabatnya, Angel dan Marsha. Chelsea berjalan menunduk karena asyik memainkan HP-nya, saat seseorang dengan sengaja menjegalnya. Chelsea berteriak bersamaan dengan dirinya yang terjatuh ke lantai. HP yang tadi dipegangnya terlepas dari tangannya dan terpental beberapa meter di depannya. Seisi kelas yang melihat kejadian itu bukannya menolong, malah cekikikan menertawakannya.
Chelsea terperangah mendapati kondisi HP-nya yang sudah lepas menjadi beberapa bagian. Pandangan Chelsea beralih ke seseorang yang menjegalnya tadi. Bagas. Cowok itu hanya tersenyum sinis sambil mengangkat alis.
Angel dan Marsha membantu Chelsea untuk berdiri. Tapi tatapan Chelsea tidak lepas dari Bagas.
"Lo nggak apa-apa kan, Chel?" tanya Angel khawatir.
Chelsea hanya menggeleng. Matanya masih menatap Bagas penuh amarah.
"Itu baru peringatan pertama. Sekali lagi lo campurin urusan gue, gue akan membuat lo menyesal!" ancam Bagas.
"Gue udah bilang, gue nggak takut!" tegas Chelsea.
"Oh... lo nantang ya? Oke. Gue ikutin kemauan lo," ucap Bagas sebelum akhirnya meninggalkan kelas Chelsea.
Chelsea menatap kepergian Bagas dengan geram. Dia bisa saja memukul, menjambak atau mencakar cowok itu. Tapi dia harus menjaga image-nya sebagai siswi baik-baik di sekolahnya.
"Lo ada masalah apa sih sama Bagas?" tanya Marsha heran.
"Nggak, lupain aja!" Chelsea tidak mau memperpanjang masalah.
Ternyata seisi kelas pun menatap Chelsea dengan tatapan ingin tahu. Dengan sikap dibuat sebiasa mungkin dan seolah tidak terjadi apa-apa, Chelsea memunguti HP-nya yang sudah hancur, lalu kembali ke mejanya.

***

Rafli masuk ke kelas Chelsea saat Chelsea sedang membereskan buku-bukunya.
"Say...," panggil Rafli pelan.
Chelsea mendongak kemudian tersenyum. "Hai!"
"Nomor kamu kok nggak aktif?" tanya Rafli.
Chelsea mendesah pelan. "HP aku rusak," jawabnya singkat.
"Kok bisa?"
"Itu lho, Raf... gara-gara..." ucapan Angel tiba-tiba terhenti saat Chelsea menginjak kakinya.
"Gara-gara apa?" tanya Rafli curiga.
"Tadi aku nggak sengaja kesandung kaki meja, terus HP aku jatuh dan langsung pecah," jawab Chelsea cepat-cepat.
Angel ternganga dan menatap Chelsea tak percaya. Padahal dia akan mengatakan yang sejujurnya, tapi kenapa Chelsea harus berbohong? Tidak biasanya Chelsea berbohong seperti itu.
"Bener?" tanya Rafli masih curiga.
"Iya, bener." Chelsea mengangguk. "Eh, ada apa kamu ke kelasku?" tanya Chelsea mengalihkan pembicaraan.
"Aku pulangnya nebeng kamu ya."
Chelsea mengerutkan keningnya. "Lho, terus mobil kamu gimana?"
Rafli menghela napas. "Ban mobilku kempes. Padahal tadi pagi masih baik-baik aja."
"Aneh," komentar Chelsea.
Lalu ingatannya tersentak pada kejadian tadi pagi di tempat parkir. Saat dia bertemu Bagas cs di tempat parkir. Tepat di depan mobil Rafli.
'Apa mungkin Bagas pelakunya? Dia kan trouble maker di sekolah. Tapi... gue nggak boleh berburuk sangka dulu. Siapa tau memang ban mobil Rafli yang bermasalah,' batin Chelsea.
"Chelsea!" panggil Rafli yang melihat Chelsea bengong.
Chelsea tersentak kaget. "Eh, kenapa?"
"Kamu kenapa bengong?"
"Ng... nggak apa-apa kok." Chelsea menyelempangkan tasnya. "Kamu yang bawa mobilnya ya?" Chelsea menyerahkan kunci mobilnya pada Rafli.
Rafli menerimanya sambil tersenyum.

***

Jam pelajaran olah raga berakhir. Setelah beristirahat sejenak, Chelsea bersama dengan Angel dan Marsha berjalan menuju ruang ganti. Sampai di ruang ganti, mereka menuju tas masing-masing.
Chelsea mengaduk-aduk isi tasnya. Seragam miliknya tidak ada di dalam tas. Chelsea mengeluarkan seluruh isi tasnya. Hasilnya tetap nihil. Wajahnya langsung panik.
"Seragam gue hilang," kata Chelsea panik.
Angel dan Marsha menoleh.
"Hilang gimana?" tanya Marsha heran.
"Ya hilang. Nggak ada di tas. Padahal gue inget banget tadi gue masukin ke tas," ucap Chelsea.
"Ya coba kita cari dulu, siapa tau lo lupa naruhnya." Angel menenangkan.
Angel dan Marsha membantu Chelsea mencari seragamnya di ruang ganti. Tapi hasilnya juga nihil. Chelsea semakin bingung.
"Atau di kelas kali, Chel? Di laci meja lo," celetuk Angel.
Chelsea menggeleng. "Nggak mungkin. Orang gue gantinya juga di sini kok."
"Nggak ada salahnya kita cari, kan?" Angel menarik tangan Chelsea dan membawanya ke kelas. Marsha mengikuti dari belakang.
Sesampainya di kelas, Chelsea langsung menuju mejanya. Dia melongokkan kepalanya ke laci mejanya. Kosong. Laci meja Angel juga kosong. Chelsea semakin panik. Tidak mungkin dia mengikuti jam pelajaran berikutnya dengan menggunakan pakaian olah raga.
"Lagi cari apa, nona-nona?" seru seseorang dari pintu kelas.
Chelsea dan yang lainnya menoleh. Chelsea melihat Bagas sedang berdiri bersandar di dinding kelas.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Chelsea ketus.
Bagas berjalan mendekati Chelsea. "Miss Perfect nggak boleh marah-marah dong, nanti cantiknya ilang loh...," goda Bagas sambil mencolek dagu Chelsea.
"Iiiih... apaan sih?" Chelsea menepis tangan Bagas kasar. "Pergi lo dari sini!"
"Kedatangan gue ke sini dengan maksud baik kok."
Chelsea mencibir. "Sejak kapan lo punya maksud baik?"
"Jadi lo nggak mau seragam lo balik?"
Pertanyaan Bagas membuat Chelsea ternganga. Begitu pun dengan Angel dan Marsha yang ikut terkejut.
"Lo yang ambil seragam gue??" tanya Chelsea tak percaya.
Bagas tidak menjawab, tapi malah tersenyum penuh kemenangan. Menandakan kalau benar dia yang mengambil seragam Chelsea.
"Keterlaluan banget sih lo! Mau lo apa sih? Apa maksud lo ngambil seragam Chelsea?" tanya Marsha emosi.
"Balikin seragam gue!" bentak Chelsea.
"Weiiitss... santai dulu, nona-nona! Jangan pake emosi!" sahut Bagas santai.
Chelsea menatap Bagas dengan geram. Tangannya sudah mengepal, menahan emosinya.
"Kalo lo mau seragam lo balik, lo ambil sendiri ke kelas gue!" kata Bagas lagi. "Gue tunggu lo di kelas. Oke?" Bagas mengedipkan satu matanya, kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Chelsea dan dua sahabatnya yang masih ternganga tak percaya.
"Sakit jiwa tuh orang!" komentar Angel kesal.
"Emang! Orang kayak dia nggak pantes di sekolah, pantesnya di rumah sakit jiwa," timpal Marsha.
"Chel, ada apa sih... kok lo bisa berurusan sama orang gila itu?" tanya Angel heran.
Akhirnya Chelsea menceritakan kejadian saat di tempat parkir kemarin.
"Cuma gara-gara itu?" tanya Angel tak percaya.
Chelsea mengangguk lemah.
"Rafli tau soal ini?" tanya Marsha.
Chelsea menggeleng. "Dia nggak perlu tau. Dan tolong jangan kasih tau dia!"
"Tapi Bagas udah keterlaluan, Chel," sela Angel.
"Udahlah, Ngel! Gue cuma nggak mau bikin masalah jadi tambah rumit," ujar Chelsea.
"Lo yakin?" tanya Marsha.
Chelsea mengangguk mantap. "Mmm... gue mau ke kelas Bagas dulu. Kalian ganti baju duluan aja, sebelum jam istirahatnya habis."
"Nggak mau ditemenin?" tanya Angel meyakinkan
"Nggak usah. Cuma mau ambil seragam aja, kan?"


***

Tanpa ragu, Chelsea memasuki kelas Bagas. Bagas cs terlihat sedang duduk di bangku keempat dan kelima, di baris ketiga dari pintu kelas. Chelsea berjalan menghampirinya. Bagas yang menyadari kedatangan Chelsea, langsung menghentikan tawanya. Pandangan Difa, Gilang dan Josia ikut tertuju pada Chelsea.
"Wow, wow, wow... suatu kehormatan bagi kelas kita karena kedatangan pacar sang ketua OSIS." Bagas berdiri, tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya. Berpura-pura memberikan hormat.
Difa, Gilang dan Josia tertawa keras. Beberapa anak yang masih di kelas pun ikut menahan tawanya melihat tingkah konyol Bagas.
"Mana seragam gue?" tanya Chelsea to the point.
"Mintanya yang sopan dong!" ujar Bagas santai.
Chelsea menghela napas. "Tolong balikin seragam gue!" katanya lagi dengan nada dibuat sehalus mungkin.
"Kasih nggak, teman-teman?" tanya Bagas meminta pendapat tiga sahabatnya.
"Jangan dulu, Gas! Suruh pake senyum dong," celetuk Gilang.
Bagas tersenyum jail. "Tuh... lo dengar sendiri, kan? Senyumnya mana?"
Chelsea mencoba bersabar. "Bagas, tolong balikin seragam gue ya," ucap Chelsea. Kali ini sambil tersenyum maksa.
"Senyumnya masih maksa," komentar Bagas.
Lagi-lagi Chelsea menghela napas. Sepertinya memerlukan kesabaran extra jika berhadapan dengan manusia gila di hadapannya sekarang.
Chelsea mencoba tersenyum lagi. "Bagas, tolong balikin seragam gue ya!"
"Yang ini gimana, teman-teman?" tanya Bagas meminta pendapat lagi.
"Masih kurang romantis, Gas...," komentar Difa.
Bagas pura-pura berpikir. "Benar juga!" Lalu menatap Chelsea. "Yang romantis dong! Panggil gue... sayang!"
Chelsea melotot. "Gue nggak mau!" tegasnya.
"Ya udah... gue sih nggak masalah. Lo nggak mau ya gue nggak akan balikin seragam lo." kata Bagas cuek.
Chelsea berdecak kesal, lalu melirik jam dinding. Sepuluh menit lagi jam istirahat habis. Dia nggak punya waktu banyak. Terpaksa dia harus menuruti kemauan gila cowok itu.
"Bagas sayang," ucap Chelsea pelan.
"Apa? Gue nggak dengar," potong Bagas. "Coba yang keras!"
Difa, Gilang dan Josia sudah cekikikan.
'Dasar cowok gila! Ngomongnya aja udah bikin gue mau muntah. Sekarang harus diulang lagi?' batin Chelsea kesal.
"Ayo coba ulang!" perintah Bagas lagi.
"Bagas sayang, tolong kembalikan seragam gue ya!" kata Chelsea lebih keras dan dengan senyum dibuat setulus mungkin.
Bagas dan tiga sahabatnya tertawa kelas. Seisi kelas yang melihat kejadian itu juga ikut tertawa.
Chelsea menunduk malu. Dia merasa dipermalukan. Air matanya hampir saja keluar, tapi dia tahan.
"Oke, sayang... karena gue baik dan nggak mau liat lo nangis, gue balikin seragam lo." Bagas mengambil seragam Chelsea dari tasnya dan memberikan pada pemiliknya.
Chelsea menerimanya dengan kasar dan hendak pergi, tapi tangannya ditahan oleh Bagas.
"Ciuman buat gue mana?" tanya Bagas sambil tersenyum manis.
Chelsea tidak menjawab, melainkan hanya memelototi Bagas. Emosinya hampir meledak. Tapi Chelsea tetap mencoba bersabar.
Chelsea menarik tangannya dan berlari meninggalkan kelas dengan perasaan malu.

***

Chelsea menendang ban mobilnya kesal. Mobilnya mogok di tengah jalan. Padahal sudah setengah perjalanan menuju rumahnya.
"Kenapa sih pake mogok segala?" gerutu Chelsea.
Chelsea memandang sekitar. Sepi. Tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Lalu dia mengambil HP dari tas sekolahnya dengan tujuan untuk menelepon Mang Ujang. Sialnya lagi HP-nya mati.
Sebuah motor melaju ke arahnya. Tapi Chelsea tidak menyadarinya. Hingga sebuah suara mengagetkannya.
"Kasihan tuh mobil, nggak salah apa-apa tapi lo tendang seenaknya," ujar seseorang di belakang Chelsea.
Chelsea menoleh dan kaget saat menyadari wajah seseorang di balik helm fullface warna merah. Bagas!
"Emosi nggak bakal bikin mobil lo bisa jalan lagi, kan?" kata Bagas lagi.
"Bilang aja lo seneng liat gue susah gini!" kata Chelsea ketus. Kalau mengingat perlakuan Bagas kemarin yang membuatnya malu, emosi Chelsea jadi memuncak.
Bagas melepas helm-nya. Rambutnya jadi terlihat acak-acakan. Tapi tidak mengurangi wajah gantengnya sedikit pun. Sesaat Chelsea terpana melihat ketampanan Bagas. Tapi begitu Bagas menatapnya, Chelsea buru-buru mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Gue pengen bantu, tapi gue nggak ngerti mesin."
"Ya udah... pergi aja lo dari sini! Lo ada di sini juga nggak membantu, kan?"
"Gue antar lo pulang aja, ya?" tawar Bagas.
Chelsea membelalakan matanya. Mana mungkin seseorang yang sudah mempermalukannya kemarin, sekarang tiba-tiba jadi berbaik hati mau mengantarnya pulang.
"Nggak!" jawab Chelsea singkat.
"Kenapa?"
"Kalo gue ikut lo, kita naiknya motor, kan?"
"Ya iya lah... emang lo kira gue mau anterin lo pake pesawat apa?"
"Gue baru creambath kemarin. Kalo gue naik motor, yang ada rambut gue yang indah ini jadi berantakan. Dan gue juga baru pake lulur sama masker kemarin. Gue nggak mau ngerusak kulit gue sama sinar matahari dan polusi. Nanti muka gue jerawatan, lagi!" curhat Chelsea.
"Ck! Lo ribet banget, ya?"
"Udah, lo pulang aja!"
"Yakin lo mau gue pergi dari sini?" tanya Bagas meyakinkan. Lalu mendekatkan wajahnya dan memasang tampang serius. "Gue pernah dengar... katanya di tempat ini banyak orang jahatnya lho. Apa lo nggak takut?" tanyanya setengah berbisik.
Chelsea jadi merinding mendengar ucapan Bagas. "Mmm... masa sih?"
"Gue serius. Kalo cuma dirampok sih nggak apa-apa, tapi kalo lo sampai diculik atau bahkan dibunuh gimana coba?"
Chelsea semakin takut. Dia memandang sekitarnya. Memang sepi sekali. Kalau benar ada orang jahat, kemungkinan tidak akan ada yang menolongnya.
"Lo... cuma nakut-nakutin gue aja, kan?" tanya Chelsea lagi. Berharap kalo Bagas cuma berbohong.
"Ya udah kalo lo nggak percaya. Gue balik duluan ya! Jaga diri baik-baik lo di sini..." Bagas hendak memakai helm-nya lagi, tapi tangan Chelsea menahannya.
"Eh, jangan dong!" pinta Chelsea cepat-cepat.
Bagas mengangkat alisnya. "Jadi?"
"Gue ikut lo."
Bagas tersenyum. "Gitu dong dari tadi!"
"Tapi... HP gue mati. Gue bisa pinjem HP lo buat telepon nyokap gue?"
Bagas mengeluarkan HP-nya dari saku dan memberikannya pada Chelsea. Lalu Chelsea menghubungi Mamanya dan meminta Mang Ujang mengurus mobilnya.
"Thanks ya..." Chelsea memberikan kembali HP itu pada Bagas.
Bagas menerimanya sambil tersenyum. "Buruan naik!"
Chelsea menggigit bibir bawahnya. Menatap ragu Ninja merah milik Bagas. Bingung antara jadi naik atau tidak?
Bagas menghela napas. Kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah masker.
"Nih, pake masker gue! Lo takut kena debu sama polusi, kan?" Bagas menyodorkan sebuah masker.
Chelsea menerimanya ragu. "Masker ini bersih, kan? Terus lo nggak punya penyakit menular, kan?"
"Ya ampun... gue bisa gila lama-lama ada di dekat lo!" kata Bagas gemas. "Itu masker masih baru. Belum pernah gue pake. Lo liat masih disegel, kan?"
Chelsea nyengir kuda. Dia percaya karena masker itu memang masih terbungkus rapi di dalam plastik.
"Lo bawa ikat rambut nggak?" tanya Bagas.
Chelsea menggeleng.
Bagas melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Chelsea. "Nih, pake jaket gue! Biar rambut lo nggak berantakan."
'Kok Bagas jadi baik gini sih?' batin Chelsea.
"Heh, kok malah bengong? Mau pake nggak?"
Chelsea sedikit kaget. Tapi kemudian dia memakai jaket itu. Membiarkan rambut panjangnya tertahan di dalam jaket agar tidak berantakan tertiup angin.
Setelah Bagas menyalakan mesin motornya, Chelsea segera naik ke ninja merah milik Bagas.
"Pegangan ya! Gue suka ngebut kalo bawa motor."
Chelsea memukul pelan punggung Bagas. "Nggak mau," tolak Chelsea mentah-mentah. "Dan awas aja kalo lo ngebut!"
Belum sempat Chelsea bersiap-siap, Bagas langsung melajukan motornya dengan cepat. Tubuh Chelsea terdorong ke belakang dan hampir terjatuh, ketika Bagas tiba-tiba saja mengerem motornya secara mendadak. Otomatis tubuh Chelsea berbalik terdorong ke depan dan langsung membentur punggung Bagas. Refleks kedua tangan Chelsea melingkar di perut Bagas. Bagas menatap tangan Chelsea yang sudah melingkar di perutnya, lalu tersenyum tipis.
Akibat perbuatan Bagas itu, jantung Chelsea hampir saja copot. Wajahnya juga langsung pucat.
"Gila lo! Lo mau bunuh gue??" tanya Chelsea marah.
"Makanya kalo gue bilang suruh pegangan, lo nurut!" ujar Bagas santai.
Chelsea tidak menjawab.
Setelah itu Bagas melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tanpa disadari Chelsea, tangannya masih melingkar di perut Bagas.
"Kita makan dulu gimana?" tanya Bagas setelah setengah perjalanan.
Chelsea berpikir sejenak. Dia memang merasa lapar. "Boleh," jawab Chelsea singkat.
Bagas menepikan motornya di dekat taman.
"Mau sampe kapan lo peluk gue?"
Pertanyaan Bagas membuat Chelsea tersadar. Chelsea buru-buru melepaskan tangannya. Pipi Chelsea langsung merona. Bagas yang melihat hal itu dari kaca spion, hanya bisa tersenyum.
Chelsea lebih dulu turun dari motor. Kepalanya celingukan mencari tempat makan. Tapi tidak ada tempat makan yang dimaksud.
"Mmm... kita mau makan di mana? Di sini nggak ada restoran atau cafe...," kata Chelsea bingung.
"Siapa yang mau makan di cafe? Kita mau makan di situ tuh..." Bagas menunjuk penjual siomay di pinggir jalan.
Chelsea membelalakan matanya karena terkejut. "What?? Makanan pinggir jalan?"
"Nggak usah banyak nanya deh! Cerewet banget sih lo!" Bagas menarik tangan Chelsea paksa.
"Eh, tunggu, tunggu!" Chelsea menahan tangan Bagas.
Bagas menoleh dengan kesal. "Apa lagi sih?"
"Cari tempat lain aja gimana? Siapa tahu di dekat sini ada cafe," ucap Chelsea dengan tatapan memohon.
"Lo cari aja sendiri! Gue tetap mau makan di sini," kata Bagas cuek. Lalu dia berjalan menghampiri penjual siomay. "Bang, siomay satu, es tehnya satu ya," pesan Bagas pada si penjual siomay.
Bagas duduk di sebuah bangku kayu panjang tanpa memedulikan Chelsea.
Chelsea kesal karena Bagas begitu cuek padanya. Tapi akhirnya dia mengalah dan menghampiri Bagas. Chelsea menatap sekelilingnya dengan sedikit jijik.
"Mau makan sambil berdiri?" tanya Bagas.
Chelsea sedikit terkejut dan menoleh. "Siapa yang mau makan?"
"Terus mau jadi patung selamat datang, gitu?"
Chelsea menggeleng polos. Tempat makan seperti ini memang terasa asing buatnya. Membuatnya seperti orang bego saja.
Chelsea mengambil beberapa helai tisu dari tasnya dan membersihkan bangku yang akan didudukinya. Seteleh membuang tisu yang sudah kotor ke tempat sampah, Chelsea mengambil beberapa helai tisu lagi. Menjadikan tisu-tisu itu untuk alas duduknya di bangku.
Bagas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Chelsea.
"Ini siomay-nya, Mas." Si penjual siomay menyerahkan sepiring siomay pada Bagas.
"Makasih, Bang," ucap Bagas sambil tersenyum.
"Waah... Mas Bagas sudah lama sekali nggak ke sini ya? Giliran ke sini langsung bawa cewek cantik," ucap si penjual siomay.
Chelsea membelalakkan makanya. Heran karena si tukang siomay-nya ternyata sudah mengenal Bagas.
"Dia pacar saya, Bang. Cantik, kan?"
Lagi-lagi Chelsea membelalakkan matanya. Cowok itu memang gila. Sekarang malah mengaku-ngaku sebagai pacarnya. Saking kesalnya, Chelsea mencubit perut Bagas.
"Aawww!!! Sakit, sayang! Aduuh... jangan di sini dong, yang! Malu kan banyak orang!"
'Ya ampuun, nih cowok memang nggak tau malu! Pake panggil sayang lagi!' batin Chelsea kesal. Chelsea melihat ke beberapa orang senyum-senyum mendengar ucapan Bagas.
Si penjual siomay tertawa. "Wah... kalian romantis ya?" katanya sambil tertawa. "Kalo ada yang cakepnya kayak gini lagi, saya mau, Mas. Saya udah lama jomblo nih," candanya.
Kini giliran Bagas yang tertawa. "Beres, Bang!"
Si penjual siomay menatap Chelsea. "Neng kok nggak makan? Lagi diet ya?"
Chelsea menggeleng sembari tersenyum. "Saya masih kenyang."
Si penjual siomay manggut-manggut, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya melayani pembeli lain.
"Yakin lo nggak mau makan?" tanya Bagas sambil melirik Chelsea yang duduk di sebelahnya. Chelsea menggeleng. "Enak lho...," kata Bagas lagi.
"Gue bilang nggak, ya nggak!" jawab Chelsea ketus.
"Ya udah." Bagas melanjutkan makannya kembali.
Aroma siomay yang menggoda sampai ke hidung Chelsea. Chelsea melirik Bagas yang terlihat sedang menikmati siomay itu.
Kruyuukk... kruyuuk...
Suara perut Chelsea! Buru-buru Chelsea memegangi perutnya dan menunduk malu. Chelsea masih sempat melirik Bagas dan Bagas sedang tertawa kecil. Membuat Chelsea semakin malu.
"Makanya nggak usah gengsi!" Bagas masih menahan tawanya, lalu mendongak. "Bang, siomay-nya satu lagi ya. Buat si eneng yang cantik ini." seru Bagas pada penjual siomay.
Pipi Chelsea memerah. Chelsea tahu kalau cowok itu gila. Chelsea juga tahu kalau cowok itu playboy yang pastinya suka gombal ke semua cewek. Tapi kenapa Chelsea berasa terbang saat cowok itu bilang kalau dia cantik?
Pesanan Chelsea datang. Chelsea menatap sepiring siomay di hadapannya dengan ragu. Memastikan kalau siomay itu 'aman' jika dimakan.
Melihat Chelsea mendiamkan siomay-nya, Bagas menghentikan makannya.
"Dijamin aman dan halal," ujar Bagas yang seolah bisa membaca pikiran Chelsea. "Siomay itu nggak bakal bikin lo mati."
Chelsea mengerucutkan bibirnya. Kenapa cowok ini menyebalkan sekali? Suka ceplas-ceplos lagi!
Chelsea mengambil tisu dan membersihkan sendok yang akan dipakainya. Memastikan kalau sendok itu harus bersih. Sebelum makan pun, Chelsea memakai gel pembersih tangan.
"Mau makan aja ritualnya banyak banget sih?" komentar Bagas tak percaya. "Gimana bisa nikmatin hidup? Dikit-dikit takut kotor, dikit-dikit takut nggak sehat! Haduuuh... lo tuh cewek teribet yang pernah gue kenal."
"Dan lo... cowok tercerewet yang pernah gue kenal. Apa-apa yang gue lakuin, selalu dikomentarin. Kayak cewek aja lo!" Chelsea tak mau kalah. Bagas terkekeh.
Dengan ragu Chelsea menyuapkan sesendok siomay ke mulutnya. Hmm... ternyata memang enak. Tidak kalah dengan siomay yang disajikan di cafe-cafe. Chelsea sangat menikmatinya. Hingga dia tidak sadar kalau cowok di sebelahnya tengah menatapnya.
"Lo sering ke sini ya?" tanya Chelsea sambil memandang Bagas.
Bagas tersentak kaget. Tak mengira kalau Chelsea akan menatapnya. Tapi Bagas berhasil menghilangkan saltingnya.
"Iya. Ini siomay langganan gue. Kenapa? Enak, ya?"
Chelsea mengangguk. "Banget. Ini baru pertama kalinya gue makan makanan di pinggir jalan gini."
"Besok gue jemput ya?" tawar Bagas.
Chelsea tersedak saking kagetnya. Bagas panik dan buru-buru memberikan Chelsea segelas es teh. Chelsea meminumnya melalui sedotan.
"Hati-hati dong makannya!" ucap Bagas lembut.
Chelsea meletakkan gelasnya kembali ke meja.
"Jadi gimana?" tanya Bagas lagi.
"Gimana apanya?"
"Mobil lo mogok, kan? Dan nggak tau juga jadinya kapan? Jadi gue jemput aja ya?"
Chelsea masih berpikir.
"Besok gue bakal tunjukin sesuatu yang seru buat lo," kata Bagas lagi. "Gimana?"
Chelsea mengangguk senang. "Oke."

***

From: My Lovely
Say, hr ni aq jmput y?
Mobil km msh d bengkel, kan?

Chelsea menggigit bibirnya. Menatap SMS dari Rafli cukup lama. 'Aduh... gue jawab apa ya? Gue kan udah janji sama Bagas,' ucap Chelsea dalam hati.
Chelsea membalas pesan itu ragu.

To: My Lovely
Ga usah,
Hr ini aq brgkt sm Mang Ujang.

"Sorry, Raf... aku bohong sama kamu," kata Chelsea lirih. Dia tetap merasa bersalah karena telah membohongi Rafli.
Setelah sarapan, Chelsea berpamitan pada Mamanya. Bagas sudah menunggunya di depan.
"Hai!" sapa Chelsea sambil tersenyum.
"Udah siap?" tanya Bagas.
Chelsea mengangguk. Lalu menatap sekelilingnya. "Motor lo mana?" tanya Chelsea heran.
"Gue nggak bawa motor." Bagas menarik tangan Chelsea agar berjalan mengikutinya.
"Oh... kita mau naik mobil?"
"Iya."
Chelsea agak kewalahan mengikuti langkah Bagas. "Terus... mobilnya di mana?"
"Cerewet banget sih lo! Udah, ikutin aja!"
Chelsea memilih untuk diam. Dalam hati dia bertanya-tanya, Bagas memarkirkan mobilnya di mana? Padahal mereka sudah berjalan cukup jauh sampai ke depan kompleks perumahan. Di pinggir jalan, mereka berhenti. Chelsea sampai terbatuk-batuk menghirup asap kendaraan yang hilir mudik di depan mereka.
"Mobil lo di mana sih? Parkirnya kok jauh banget?" Chelsea cemberut.
"Nah, itu dia!" seru Bagas senang sambil menunjuk ke arah bus yang sedang melaju ke arah mereka.
"Hah? Naik bus? Yang bener aja lo!" protes Chelsea. "Gue nggak mau!"
Tapi sepertinya Bagas tak menghiraukan ucapan Chelsea. Buktinya dia kembali meraih tangan kiri Chelsea dan menariknya sambil berlari menuju bus yang telah dia stop sebelumnya.
"Eh, apa-apaan ini? Gue nggak mau! Lepasin gue!" Tangan kanan Chelsea yang bebas memukul-mukul tangan Bagas yang menariknya. Berharap Bagas mau melepaskan tangannya. Tapi harapannya nggak terkabul.
Bagas naik ke bus dan menarik Chelsea agar ikut naik ke bus. Setelah keduanya berhasil naik, bus kembali berjalan. Bagas hanya nyengir kuda saat Chelsea menatapnya marah.
"Kita duduk situ!" Bagas menunjuk sebuah bangku.
Mereka akhirnya duduk di bangku urutan ketiga bagian kanan bus. Chelsea duduk di dekat jendela, sementara Bagas duduk di sebelahnya.
Chelsea memandang sekelilingnya. Busnya hampir penuh. Bahkan ada beberapa orang yang berdiri karena tidak mendapat tempat duduk. Kebanyakan anak-anak sekolah dan orang-orang yang mau berangkat kerja. Hal yang baru lagi buat Chelsea. Dia tidak pernah naik kendaraan umum sebelumnya. Kalau pergi ke mana-mana, selalu Papa atau Mang Ujang yang mengantarnya. Barulah setelah SMA, dia diijinkan membawa mobil sendiri.
"Lo marah ya?" tanya Bagas sambil menatap wajah Chelsea.
Chelsea balas menatap Bagas, lalu menggeleng. "Nggak kok," jawabnya sambil tersenyum. Bagas tersenyum lega.
Chelsea kembali memandang keluar jendela. Melihat jalanan Jakarta di pagi hari. Jalanan yang selalu padat kendaraan. Gedung-gedung yang tinggi. Penjual-penjual di pinggir jalan. Serta orang-orang yang terlihat sedang menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Jujur selama ini Chelsea tidak pernah memperhatikannya.
Tiba-tiba saja bus berhenti. Seorang nenek naik ke bus dan kerepotan membawa dua kantong plastik besar. Bagas langsung berdiri dan membantu membawakan barang-barang yang dibawa nenek itu.
"Duduk sini aja, Nek!" ucap Bagas sopan sembari mempersilahkan nenek itu duduk di bangkunya tadi.
"Makasih ya, Nak." Nenek itu duduk di samping Chelsea.
Chelsea terpana melihatnya. Sikap Bagas yang sopan kepada orang tua, sikap Bagas saat membantu membawakan barang nenek itu, dan Bagas yang merelakan tempat duduknya untuk si nenek, sungguh membuat Chelsea kagum. Chelsea tidak menyangka cowok seperti Bagas bisa bersikap sangat sopan kepada orang tua.
Selama ini Chelsea mengenal Bagas hanya sebatas cowok yang jail, playboy dan trouble maker di sekolah. Tapi... hari ini Chelsea bisa melihat sisi baik dari Bagas. Ralat, bukan hanya hari ini. Kemarin juga. Mulai dari mengantar Chelsea pulang ke rumah, menraktirnya siomay, menjemputnya ke rumah, sampai saat membantu si nenek di bus. Chelsea yakin kalau sebenarnya Bagas orang yang baik. Tanpa sadar sebuah senyum terlukis di bibir Chelsea.
"Minggir, Bang!" seru Bagas.
Mereka sudah sampai di sekolah. Bagas dan Chelsea turun dari bus. Mereka setengah berlari menuju gerbang sekolah. Hingga Bagas berhenti, Chelsea ikut berhenti.
"Kenapa?" tanya Chelsea heran.
"Lo masuk duluan aja! Gue nggak mau anak-anak satu sekolah heboh ngeliat Ms. Perfect sama Mr. Jail jalan berdua."
Chelsea tertawa. "Dan lo takut fans-fans lo langsung kabur gara-gara liat gue jalan bareng lo?"
"Bukan itu yang gue takutin. Tapi justru lo," ucap Bagas. Chelsea mengerutkan keningnya bingung. "Gue takut Rafli salah paham."
Deg! Rafli? Iya, benar! Tadi dia sudah membohongi Rafli dengan bilang kalau dia akan berangkat diantar Mang Ujang.
"Oh... ya udah, gue ke kelas dulu," pamit Chelsea. Lalu dia berbalik. Baru beberapa langkah, Chelsea berhenti dan berbalik menatap Bagas lagi. "Bagas... makasih ya," ucapnya sembari tersenyum.
Bagas mengangguk dan balas tersenyum.

***

"Ya ampuuun, Chelseaa!!!" teriak Angel heboh ketika Chelsea sampai di kelas.
Chelsea menaikkan alis. "Kenapa sih lo?"
"Penampilan lo... berantakan banget!" kata Angel histeris. "Gue tau, mobil lo lagi di bengkel. Tapi lo nggak harus lari marathon dari rumah ke sekolah, kan?" lanjutnya.
"Iya, Chel. Lo dari mana sih? Keringetan gitu, terus rambut lo berantakan banget," tambah Marsha.
"Mungkin cuacanya aja yang lagi panas. Gue juga belum sempat sisiran," jawab Chelsea berbohong.
Angel dan Marsha menatap Chelsea dengan curiga. Chelsea tidak memedulikannya dan dia langsung duduk di bangkunya.
"Sini gue sisirin!" Angel mengambil sisirnya dan mulai menyisiri rambut Chelsea.
Sementara Chelsea mengelap keringat di wajahnya dengan tisu.
"Tadi Rafli ke sini nyariin lo," kata Marsha.
"Terus dia bilang apa?"
"Nggak bilang apa-apa sih. Waktu gue bilang lo belum dateng, dia langsung pergi," jawab Marsha.
Chelsea diam karena merasa bersalah. 'Maafin aku, Raf. Aku udah bohongin kamu,' ucapnya dalam hati.

***

"Ngel, Sha... gue ikut kalian ke kantin ya?" ucap Chelsea setelah bel istirahat berbunyi.
"Lo mau bawa bekal lo ke sana?" tanya Marsha.
Chelsea menggeleng sambil tersenyum. "Gue pengen makan siomay."
"Hah? Siomay?" tanya Angel dan Marsha bersamaan.
"Iya, ayo berangkat!" Chelsea menarik tangan Angel dan Marsha yang masih bengong.
Sampai di kantin, mereka memilih meja di sudut kantin. Setelah pesanan datang, Chelsea langsung menikmati siomay-nya. Berbeda dengan Angel dan Marsha yang bengong menatap sahabatnya memakan siomay-nya dengan lahap. Chelsea yang merasa diperhatikan, langsung mendongak.
"Kalian kenapa bengong? Kok nggak pada makan?" tanya Chelsea heran.
"Ini kayak bukan lo deh, Chel," ucap Marsha.
"Lo habis kesambet hantu apaan sih? Nggak ada angin, nggak ada hujan, lo tiba-tiba mau makan di kantin. Padahal setahu kami, lo paling anti sama makanan kantin, kan?" cerocos Angel.
"Iya, walaupun makan di cafe atau restoran, lo juga tetap pilih-pilih tempatnya, kan?" timpal Marsha.
Chelsea menanggapinya dengan senyum. "Jawabannya simple kok. Gue cuma nggak mau nyesel aja, selama sekolah di sini, nggak pernah nyobain makanan kantin. Jadi nggak ada salahnya kan kalo gue mau makan di sini?"
Angel dan Marsha masih belum puas dengan jawaban Chelsea. Rasanya aneh seorang Chelsea yang mereka kenal, yang sebelumnya paling anti jajan sembarangan, sekarang ada di hadapan mereka, makan siomay dengan lahapnya. Tapi Chelsea tetap cuek dan tidak memedulikan dua sahabatnya yang masih menatapnya tak percaya.
"Chelsea?" suara seseorang mengejutkan Chelsea.
Chelsea mendongak dan mendapati Rafli sudah berdiri di sampingnya. Chelsea tersenyum dan menggeser duduknya. Memberikan tempat untuk Rafli duduk. Rafli duduk di samping Chelsea.
"Tumben kamu makan di kantin?" tanya Rafli tak percaya. Tatapannya sama dengan Angel dan Marsha tadi.
"Kamu jangan kayak Angel sama Marsha dong! Aku kan cuma makan di kantin doang. Tapi kalian natap aku begitu. Kayak liat alien aja. Aku nggak suka ditatap gitu," Chelsea cemberut. Lama-lama dia risih ditatap seperti itu.
Rafli tersenyum. "Iya, iya... maaf, aku nggak akan natap kamu gitu lagi." Rafli membelai rambut Chelsea lembut.
"Waah... kalian so sweet banget deh." Mata Marsha berbinar melihat Chelsea dan Rafli bergantian.
Rafli hanya menanggapinya dengan tawa. Lalu dia menatap Chelsea. "Tadi pagi kamu diantar Mang Ujang?"
Chelsea menghentikan makannya, lalu mengangguk ragu. 'Duh... maaf, Raf, aku bohongin kamu lagi.'
"Nanti pulang sekolah aku ada rapat OSIS. Jadi maaf ya, aku nggak bisa antar kamu pulang," kata Rafli dengan wajah menyesal.
"Iya, nggak apa-apa kok. Aku bisa pulang sendiri."

***

Bagas cs memasuki kantin. Pandangan mereka menyapu seisi kantin. Tapi sialnya tidak ada meja yang kosong.
"Sana aja, bro!" Difa menunjuk sebuah meja.
Akhirnya Bagas cs menuju meja yang ditunjuk Difa. Sekumpulan anak cewek kelas X sedang duduk di meja itu.
"Eh, minggir, minggir!" seru Difa pada sekumpulan anak cewek itu. "Kami mau duduk di sini," tambahnya.
"Tapi, Kak... makanan kami belum habis," ucap salah satu cewek dengan wajah memelas.
"Waduuh... masih kelas X udah berani ngelawan kakak kelas nih. Enaknya kita apain ya?" tanya Difa meminta pendapat tiga sahabatnya.
"Kita culik aja, Dif!" celetuk Josia asal.
"Yup... nggak usah dikembaliin ke orang tuanya sekalian," tambah Gilang.
Bagas tersenyum geli melihat wajah adik kelasnya yang sudah pucat.
Kali ini Bagas yang maju. "Kalian... nggak mau dapet masalah dari gue, kan?" tanya Bagas dengan wajah sangarnya.
Sekumpulan cewek di meja itu menggeleng. Lalu buru-buru membereskan makanan mereka dan pergi. Takut kena masalah. Bisa-bisa hidup mereka jadi nggak tenang kalau berurusan dengan Bagas.
Bagas tersenyum puas. Sementara tiga sahabatnya tertawa keras. Lalu mereka duduk di meja itu tanpa memesan makanan apapun. Jadi mereka hanya numpang buat duduk-duduk saja.
Di meja seberang Rafli menatap Bagas cs dengan emosi.
"Keterlaluan banget tuh anak!" kata Rafli kesal. Dia hendak berdiri, tapi ditahan oleh Chelsea.
"Kamu mau ke mana?" tanya Chelsea.
"Dia udah keterlaluan, Chel! Gue perlu ngomong sama dia."
Chelsea tahu yang dimaksud 'dia' oleh Rafli adalah Bagas. Chelsea juga sebenarnya kesal sama sikap Bagas barusan yang sok berkuasa di sekolah ini. Memangnya sekolah ini punya nenek moyang dia apa? Sehingga dia dengan seenaknya mengusir anak-anak yang sedang makan buat pindah ke tempat lain.
"Udahlah, Raf! Jangan ribut di kantin! Malu sama yang lainnya," Chelsea menenangkan. Satu tangannya menggenggam tangan Rafli lembut. Berharap Rafli menuruti permintaannya. Harapannya terkabul. Rafli mengangguk dan tersenyum. Membuat Chelsea tersenyum lega.
Pandangan Chelsea beralih ke Bagas. Tepat pada saat itu mata mereka bertemu. Hanya tiga detik. Karena setelah itu, pandangan Bagas tertuju pada tangan Chelsea yang sedang menggenggam tangan Rafli. Dan Bagas sangat tidak suka melihatnya.
Bagas berdiri. "Gue balik ke kelas," katanya yang kemudian pergi meninggalkan tiga sahabatnya yang penuh tanda tanya.

***

Chelsea berdiri di halte depan sekolah menunggu bus datang. Beberapa kali dia mencoba menyetop bus, tapi tidak mau berhenti. Semua bus penuh. Mungkin karena saat itu jam pulang sekolah.
"Miss Perfect ketagihan naik bus, ya?" suara Bagas muncul di belakang Chelsea.
Chelsea tersentak kaget dan menoleh. "Lo ngikutin gue ya?"
"Hey... lo lupa ya, kalo hari ini gue nggak bawa motor?" Bagas balik tanya. "Gue di sini juga lagi nunggu bus."
Chelsea tidak menjawab, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke jalan. Jujur dia masih kesal dengan kelakuan Bagas tadi di kantin.
"Kenapa lo?" tanya Bagas heran.
"Nggak apa-apa kok."
"Nggak suka gue di sini? Ya udah, gue pergi deh." Bagas hendak pergi, tapi Chelsea menahan tangannya.
"Eh, jangan dong!" kata Chelsea cepat-cepat. "Jujur aja, gue nggak berani naik kendaraan umum sendiri. Lo... mau anterin gue, nggak?" tanya Chelsea ragu-ragu.
Bagas tersenyum manis. "Dengan senang hati saya akan mengantar Tuan Putri."
Chelsea tertawa kecil. "Dasar playboy! Manis banget kalo ngomong!"
"Semanis senyuman gue ya?"
Chelsea menggeleng. "Senyuman lo nggak manis, tapi genit."
"Tapi lo suka, kan?" goda Bagas sambil menaik-turunkan alisnya.
"Nggak!" Chelsea menjulurkan lidahnya.
Selang lima menit mereka menunggu, bus yang mereka tunggu akhirnya datang juga. Bagas menarik tangan Chelsea untuk berlari menuju bus. Bus yang mereka naiki hampir penuh. Semua bangku sudah terisi. Akhirnya Chelsea dan Bagas terpaksa berdiri bersama beberapa orang lain yang tidak mendapat tempat duduk.
"Lo berdiri nggak apa-apa, kan?" tanya Bagas memastikan.
Chelsea menggeleng sambil tersenyum.
"Kalo mau pegangan, pegangan gue aja!" lanjut Bagas dengan senyum genitnya.
Chelsea memelototi Bagas. "Lo mau gue cubit lagi?" tanya Chelsea galak.
"Lo genit banget sih sama gue, sedikit-sedikit main cubit aja?"
Chelsea memajukan bibirnya. Dia memilih pegangan besi di atas bus. Tiba-tiba bus mengerem mendadak. Tangan Chelsea terlepas dari pegangan besi dan refleks memeluk Bagas. Kini wajah Chelsea dan Bagas begitu dekat. Sesaat mereka berpandangan. Hingga bus kembali berjalan, Chelsea tersadar dan buru-buru melepas pelukannya. Mereka sama-sama salah tingkah.
Chelsea memilih menunduk untuk menghindari tatapan Bagas. Jantung Chelsea sudah berdegup kencang. 'Duuuh... kenapa gue jadi deg-degan gini sih?'

***

"Makasih ya, Gas... lo udah mau nganterin gue pulang," ucap Chelsea tulus sesampainya di depan rumah.
Bagas mengangguk sembari tersenyum.
"Lo masuk dulu deh, minum-minum dulu gitu," tawar Chelsea.
"Makasih, tapi... lain kali aja ya. Sore ini gue ada janji."
"Janji sama siapa? Cewek lo?"
"Kalo iya, lo cemburu?"
"Apaan sih lo!" Chelsea memukul lengan Bagas pelan.
Bagas tertawa kecil. "Gue balik dulu ya," pamit Bagas kemudian.
Chelsea mengangguk. "Hati-hati ya."
Bagas membalikan badannya. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik lagi. "Besok gue jemput lagi," ucapnya yang dijawab dengan anggukan Chelsea.
Setelah hilang dari pandangannya, Chelsea masuk ke rumah dan lompat-lompat kegirangan. Hatinya terasa berbunga-bunga. Besok Bagas akan menjemputnya lagi!
Tapi kemudian senyum Chelsea menghilang. Merasa ada yang salah dengan dirinya. Dia kan sudah punya pacar, tapi kenapa dia merasa sangat senang saat bersama Bagas? Bahkan perasaan seperti ini belum pernah dirasakannya saat bersama Rafli.
"Neng Chelsea lagi ngapain berdiri di sini?" suara Mang Ujang mengejutkannya.
"Eh, Mang Ujang? Mmm... ada apa, Mang?" Chelsea balik tanya.
Mang Ujang tersenyum. "Saya baru pulang dari bengkel. Mau ngasih tau, kalo mobil neng udah jadi."
"Mobilnya udah jadi? Kok cepet banget sih, Mang? Nggak bisa lebih lama lagi ya?" tanya Chelsea dengan wajah kecewa.
Mang Ujang mengerutkan keningnya heran. Ada yang aneh dengan majikannya yang satu ini. "Neng Chelsea aneh deh. Biasanya kan neng maunya segala sesuatunya selesai tepat waktu. Ini mobil selesainya cepet, tapi neng maunya lebih lama lagi?"
"Mmm... maksud aku, supaya dicek lagi aja. Siapa tau masih ada yang rusak. Daripada bolak-balik ke bengkel?" Chelsea beralasan.
"Tenang aja, Neng! Semuanya aman. Lagian kata orang bengkelnya, rusaknya nggak terlalu parah kok."
"Oh, ya udah deh. Makasih, Mang."
Mang Ujang tersenyum. "Saya permisi dulu, Neng."
Mang Ujang pergi menuju garasi. Meninggalkan Chelsea yang masih diam. Dalam hati dia berharap kalau mobilnya tidak selesai dalam waktu dekat. Agar dia bisa terus bersama Bagas.

***

Chelsea mondar-mandir di teras rumahnya. Sudah hampir jam tujuh, tapi Bagas belum datang juga. Chelsea mengentakkan kakinya kesal. Chelsea melihat jam tangannya lagi, jam tujuh kurang seperempat. Saat Chelsea mendongak, motor Bagas sampai di depan rumahnya. Chelsea berlari menghampirinya.
"Lo lama banget sih? Ini udah hampir jam tujuh. Kita bisa telat tau!" Chelsea ngomel-ngomel.
"Kalo lo ngomel-ngomel, kita bisa makin telat," sahut Bagas. "Udah, buruan naik!"
Chelsea naik ke motor Bagas.
"Gue mau ngebut. Pegangan yang kenceng!"
Chelsea membuka mulutnya hendak protes, tapi Bagas sudah melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Otomatis tangan Chelsea langsung melingkar di perut Bagas. Bagas mengendarai motornya gila-gilaan. Beberapa kendaraan berhasil disalipnya. Chelsea memejamkan matanya kuat-kuat karena ketakutan. Bersamaan dengan jantungnya yang berdebar kencang.
Mereka sampai juga di sekolah. Tapi sialnya gerbang sekolah sudah ditutup. Ternyata secepat apapun Bagas mengendarai motornya, mereka tetap saja telat sampai sekolah. Chelsea melihat jam tangannya, jam tujuh lebih lima menit.
Chelsea menghela napas. "Tuh kan telat. Lo sih kelamaan!"
"Ck! Kenapa sih nyalahin gue? Gue kan udah ngebut."
"Terus... sekarang gimana dong?" Chelsea menggigit bibirnya bingung.
Bagas berbalik arah. Hingga mereka sampai di belakang sekolah. Bagas menyuruh Chelsea turun. Chelsea menurutinya dan berjalan mengikuti Bagas sampai ke tembok belakang sekolah yang cukup tinggi.
"Gerbang sekolah udah ditutup. Terpaksa kita harus lompat lewat tembok ini," ujar Bagas sambil menunjuk tembok itu
Chelsea melotot. Bagi Bagas memang hal yang biasa. Tapi bagi Chelsea-yang tercatat sebagai murid teladan di sekolah, mana mungkin dia pernah melakukan hal seperti ini? Datang terlambat ke sekolah saja baru hari ini.
Bagas mengambil posisi jongkok. "Buruan naik ke pundak gue! Gue bantuin lo lompat."
Chelsea membelalakkan matanya kembali. Tidak mungkin dia naik ke pundak Bagas. Apalagi dia sedang memakai rok.
"Kok malah bengong? Lo mau masuk sekolah, nggak?" tanya Bagas geregetan.
"Gue mau masuk, tapi nggak dengan cara kayak gini!" tolak Chelsea. "Dengan gue dateng telat ke sekolah aja, udah bikin image gue jelek. Eh, sekarang malah suruh lompat tembok sekolah segala, bisa makin buruk image gue," cerocos Chelsea.
Bagas berdiri dengan kesal. "Terus mau lo gimana?"
Chelsea menatap Bagas bingung. "Tapi... kalo gue masuk lewat gerbang depan, gue juga udah telat. Gue juga pasti kena hukuman. Kan malu-maluin banget seorang Agatha Chelsea dapet hukuman dari guru."
Bagas mengacak-acak rambutnya frustasi. "Ya udah, kita cabut aja!"
Chelsea melotot. "Apa? Cabut? Maksudnya... lo ngajakin gue bolos? Yang itu malah lebih parah. Bisa rusak reputasi gue kalo gue ketauan bolos."
"Lo cuma punya dua pilihan. Mau masuk atau bolos?"
Chelsea berpikir keras. Masuk tapi terlambat atau mau bolos? Selama hidupnya Chelsea belum pernah melakukan keduanya. Kalau pun sakit dan sakitnya tidak parah, Chelsea tetap memaksakan dirinya untuk tetap ke sekolah.
Sekarang dia harus memilih. Kalau tetap masuk, image sebagai Miss Perfect bisa rusak karena datang terlambat ke sekolah. Kalau bolos, dia masih mempunyai alasan kenapa dia tidak masuk. Sakit, mungkin.
"Ng... kalo bolos, kita mau ke mana?" tanya Chelsea ragu.
Bagas tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum karena muncul sebuah ide di kepalanya.

***

Angin pantai yang sejuk menerpa wajah Chelsea dan Bagas. Chelsea tersenyum menatap keindahan pantai di depannya. Ya, Bagas mengajaknya ke pantai. Chelsea sangat senang karena sudah lama sekali dia tidak ke pantai.
Chelsea berlari-lari kecil mendekati bibir pantai. Bagas mengikutinya dari belakang.
"Udah lama banget gue nggak ke pantai," ucap Chelsea. Matanya tetap tertuju pada keindahan pantai di hadapannya.
Bagas tersenyum dan menatap Chelsea dari samping. Cantik. Bahkan tetap terlihat cantik walaupun rambutnya berantakan karena tertiup angin.
Bagas menoleh ke belakang, menatap satu per satu pedagang di dekat pantai. Matanya berhenti pada salah satu pedagang aksesoris. Bagas berpamitan untuk pergi sebentar. Selang lima menit, Bagas kembali lagi.
"Lo dari ma..."
Ucapan Chelsea terhenti saat Bagas mengangkat tangannya dan merapikan poni yang menutupi mata Chelsea. Dijepitnya poni Chelsea dengan jepit rambut lucu berhiaskan kupu-kupu yang baru saja dibelinya. Sesaat Chelsea terpana dengan perlakuan Bagas yang sangat manis.
"Makasih...," ucap Chelsea salah tingkah. Dan untuk kesekian kalinya, pipinya langsung merona.
Seringkali Rafli memperlakukannya dengan sangat manis, tapi kenapa hatinya tak pernah berbunga-bunga seperti saat ini? Sedangkan Bagas, hanya jepit rambut, sangat sederhana, tetapi mampu membuat Chelsea berbunga-bunga.
"Duduk yuk!" Bagas lebih dulu duduk di pasir pantai.
Bagas melepas jaketnya dan menggelarnya di atas pasir pantai. Tujuannya sebagai alas untuk Chelsea duduk.
"Duduk sini, biar nggak kotor." Bagas nyengir kuda.
Chelsea tertawa kecil. "Nggak perlu." Chelsea mengambil jaket itu dan meletakkannya di atas pangkuan Bagas. "Berani kotor itu baik, kan?"
Giliran Bagas yang tertawa. "Ngiklan lo?"
Sejenak mereka terdiam. Mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan yang ada di depan mereka. Hingga Bagas mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Chelsea.
Chelsea mengerutkan keningnya bingung. Sebuah HP dengan merk dan type yang sama seperti HP miliknya yang rusak.
"Ini... maksudnya apa?"
"Buat gantiin HP lo yang rusak kemarin. Gue minta maaf ya," ucap Bagas tulus sembari tersenyum.
Chelsea mendorong kotak HP itu. "Nggak usah. Gue udah beli yang baru kok. Dan gue udah maafin lo." Chelsea balas tersenyum.
"Kalo lo udah maafin gue, lo terima HP ini. Justru kalo lo nggak mau terima, gue akan terus ngerasa bersalah."
Chelsea tetap bergeming. Bagas meraih tangan Chelsea dan memberikannya paksa ke tangan Chelsea.
"Diterima ya! Biar gue nggak ngerasa bersalah."
"Tapi..."
"Nggak ada tapi-tapian. Lagian... kemarin kan memang salah gue. Jadi lo harus terima. Sebagai permintaan maaf gue."
Akhirnya Chelsea mengangguk. Bagas tersenyum lega.
"Makasih ya, Gas...," ucap Chelsea tiba-tiba.
Bagas menatap Chelsea bingung. "Buat?"
"Karena lo udah buat hidup gue terasa berwarna," jawab Chelsea. "Selama ini... hidup gue rasanya flat, gitu-gitu aja. Berangkat ke sekolah, pulang, kadang les. Main sama teman-teman gue aja jarang. Palingan... gue, Angel, sama Marsha juga perginya ke mal buat belanja, ke salon atau tempat spa buat perawatan." Chelsea tertawa kecil. "Gue lebih sering menyibukkan diri gue sendiri dengan belajar dan kegiatan-kegiatan lain yang membosankan. Hidup gue rasanya terikat. Gue harus selalu jadi yang terbaik. Dan gue harus selalu terlihat sempurna. Dan sebenarnya... gue ngerasa tersiksa dengan semua itu," lanjutnya sambil menatap sekumpulan anak kecil yang tengah bermain di bibir pantai.
Bagas masih diam mendengarkan semua kata-kata Chelsea.
"Tapi... setelah gue mengenal lo, walau cuma beberapa hari, lo mampu membuat hidup gue terasa lebih berwarna. Lo ajak gue makan di pinggir jalan, yang padahal paling anti buat gue jajan sembarangan karena takut makanan itu nggak steril. Tapi ternyata nggak seburuk yang gue kira. Justru rasanya lebih enak." Chelsea terdiam sejenak. "Kedua, lo ajak gue naik bus. Hal yang asing lagi buat gue. Karena sebelumnya gue belum pernah naik kendaraan umum. Tapi dari situ, gue baru bisa mengerti arti bahagia yang sesungguhnya. Orang-orang rela berdesak-desakan di bus tanpa mengeluh sedikit pun. Bahkan mereka tetap terlihat bahagia. Sementara gue? Mobil rusak sedikit aja udah mengeluh." Chelsea tertawa kecil dan menghela napas sejenak. "Dan sekarang... lo ajak gue ke pantai. Membuat gue menyadari satu hal, kalo kebahagiaan nggak bisa diukur pake uang. Lo liat anak-anak kecil di sana deh!" tunjuk Chelsea pada sekumpulan anak kecil yang sedang bermain air di pinggir pantai. "Mereka terlihat bahagia banget. Mereka juga bisa tertawa lepas. Hal yang belum pernah gue rasain. Padahal hidup gue berkecukupan. Mau apa-apa tinggal minta sama orang tua gue. Tapi gue nggak pernah ngerasa bahagia seperti mereka."
Bagas menoleh dan menatap Chelsea. "Jadi?"
Chesea balas menatap Bagas. "Jadi... gue bukan orang yang sempurna. Nobody's perfect. Nggak ada orang yang sempurna, kan?"
Bagas tersenyum. "Ya, lo benar. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan."
"Soal Rafli…” Chelsea menggantungkan ucapannya, membuat Bagas menoleh. “Gue nggak tau gimana perasaan gue yang sebenarnya sama dia.”
“Maksud lo?” tanya Bagas tak mengerti.
“Dulu… waktu gue terima Rafli sebagai pacar gue, gue punya beberapa alasan. Gue nggak munafik, dia itu… ganteng.” Chelsea tersenyum saat mengucapkannya. “Dia juga baik dan perhatian banget sama gue. Prestasi dia di sekolah juga bagus. Selain itu, dia… ketua OSIS. Jadi gue berpikir kalo dia cowok yang tepat buat gue,” lanjutnya.
Jujur saja Bagas merasa cemburu saat Chelsea memuji-muji cowok itu. Jika dibandingkan dengan Rafli, dia memang tidak ada apa-apanya.
“Padahal… cinta itu nggak butuh alasan, kan?” tanya Chelsea kemudian. Bagas tetap diam. “Setelah satu tahun pacaran sama dia, gue tetap belum yakin sama perasaan gue sendiri. Gue memang sayang sama dia, tapi… gue nggak yakin kalo gue cinta sama dia.”
“Chel… gue… mau jujur sama lo,” ucap Bagas.
“Apa?” Chelsea penasaran.
“Sebenarnya... gue cinta sama lo.”
Mata Chelsea membulat. “Hah?” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Bagas tertawa melihat ekspresi wajah Chelsea yang lucu. “Ya, gue cinta sama lo.”
Giliran Chelsea yang tertawa. “Gue tau banyak cewek yang udah lo gombalin, tapi gue nggak akan mempan digombalin sama lo. Atau… lo mau ngerjain gue ya??”
“Gue serius, Chel.”
Chelsea terdiam. Dia bisa melihat kesungguhan Bagas baik dari wajahnya maupun matanya. Tapi Chelsea bingung harus menjawab apa?
Bagas menghela napas. Pandangannya lurus ke depan. “Gue suka sama lo, bahkan jauh sebelum lo jadian sama Rafli. Gue suka perhatiin lo secara diam-diam. Gue suka sama lo, tapi gue nggak berani ungkapinnya ke lo. Gue takut ditolak.”
‘Apa? Bagas takut ditolak? Dia kan playboy. Udah banyak cewek yang digombalin. Masa takut ditolak sih?’ tanya Chelsea dalam hati.
“Lo pasti mikir kenapa playboy kayak gue takut ditolak? Iya, kan?”
Pertanyaan Bagas tepat sasaran. Jadi Chelsea hanya nyengir kuda.
“Karena gue mikir, seorang Miss Perfect kayak lo, nggak akan mungkin mau terima cowok trouble maker kayak gue. Makanya… gue patah hati waktu tau lo jadian sama Rafli. Rafli lebih segala-galanya daripada gue. Rafli lebih pantas buat lo. Jadi gue putusin buat lupain lo, dengan cara… gue pacaran sama cewek lain. Setiap gue nggak cocok sama cewek itu, langsung aja gue putusin dan cari yang lain lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya gue dapet predikat sebagai playboy karena gue sering gonta-ganti cewek." Bagas tersenyum kecut. "Dan gue sadar akan satu hal, semakin gue coba buat lupain lo, semakin gue nggak bisa lupain lo. Apalagi... kebersamaan kita beberapa hari ini, membuat rasa cinta dan rasa sayang gue ke lo semakin dalam, Chel."
Chelsea terpana dengan kata-kata Bagas barusan. Tapi dia tak mampu untuk berkata-kata. Perasaannya campur aduk. Antara kaget, senang dan juga bingung. Benarkah Bagas sudah menyukainya selama ini? Lalu bagaimana dengan Rafli? Bukankah Rafli adalah pacarnya, tapi kenapa dia harus bimbang seperti ini? Lalu kepada siapakah perasaan Chelsea sebenarnya?
"Bagas, gue..."
"Chel, gue bukan lagi nembak lo kok. Gue cuma ngungkapin perasaan gue aja yang selama ini gue pendam sendiri. Lagian gue sadar kalo lo udah punya Rafli. Jadi... lo nggak perlu jawab apa-apa." Bagas mencoba tersenyum.
Chelsea balas tersenyum kaku. Lalu dia menunduk, bersamaan dengan bunyi HP dari dalam tasnya. Chelsea mengambilnya dan terkejut saat melihat sebuah panggilan yang masuk ke HP-nya. Rafli.
"Hallo..." Chelsea membuka pembicaraan.
"Hallo, say! Kenapa kamu nggak masuk sekolah? Kamu sakit? Kok nggak ngabarin aku sih?" tanya Rafli di seberang. Dari suaranya terdengar kalau dia sangat cemas.
"Ng... iya, aku... lagi nggak enak badan. Jadi... nggak bisa masuk sekolah," jawab Chelsea agak gugup.
"Udah ke dokter?"
"Mmm... udah. Kamu nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa kok."
"Atau aku sekarang ke rumah kamu aja ya?”
"Eh, jangan!" jawab Chelsea cepat-cepat.
"Jangan?" suara Rafli terdengar heran.
"Mmm... maksud aku... ini kan masih jam sekolah. Lagian... aku nggak apa-apa kok. Cuma perlu istirahat aja."
"Beneran?"
"Iya."
"Ya udah, udah bel masuk nih. Kamu istirahat ya! Jangan lupa makan sama minum obat. I love you..."
Chelsea tak menjawab. Karena tidak ada respon dari Chelsea, Rafli memutus sambungan teleponnya.
Chelsea menunduk, menatap pasir pantai. Dia berbohong lagi. Rafli sudah begitu baik, perhatian dan peduli padanya, tapi dengan tega Chelsea membohonginya. Lagi-lagi perasaan bersalah menyelimuti Chelsea.
"Kenapa lo mesti bohong?"
Chelsea mendongak. "Masa gue harus bilang gue bolos dan sekarang lagi sama lo, gitu?"
Bagas hanya menanggapinya dengan senyum. Sebuah bola mengenai punggung Bagas. Bagas kaget dan kontan menoleh. Seorang anak kecil menghampirinya.
“Maaf ya, Kak? Aku nggak sengaja,” ucap anak kecil itu merasa bersalah.
Bagas mengambil bola itu dan berdiri. “Iya, nggak apa-apa kok,” jawabnya sembari tersenyum. Bagas memberikan bola itu pada anak laki-laki yang menghampirinya tadi.
“Makasih, Kak,” ucap anak laki-laki itu. “Mau main bola bareng kami nggak, Kak?”
Bagas menatap ke sekumpulan anak kecil yang tak jauh darinya. Sepertinya menarik juga. “Boleh.”
Anak laki-laki itu tersenyum lebar. “Ayo, Kak!”
Bagas menoleh ke arah Chelsea. “Sebentar ya, Chel,”
Chelsea tersenyum dan mengangguk.
Anak laki-laki itu menarik tangan Bagas dan membawanya untuk bergabung bersama yang lainnya. Setelah itu Bagas dan anak-anak tadi sudah larut dalam permainan mereka sambil sesekali tertawa.
Chelsea yang menatapnya dari kejauhan ikut tersenyum melihatnya. Dia sempat tertawa ketika melihat Bagas terjatuh saat menendang bola. Lucu, pikirnya. Dan Chelsea menyadari satu hal kalau ternyata Bagas tidak seburuk yang dia kira selama ini. Chelsea yakin kalau Bagas sebenarnya adalah orang yang baik.
Setengah jam berlalu. Bagas sudah kelelahan. Akhirnya dia menyudahi permainannya dan kembali menghampiri Chelsea. Chelsea menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja dibelinya.
“Makasih…” Bagas menerimanya dan langsung meminumnya. “Sorry ya, lama.”
“Nggak apa-apa kok. Gue seneng liatnya. Lo keliatan… lucu,” Chelsea tertawa kecil.
“Lo ngetawain pas gue jatuh tadi ya?”
Chelsea mengangguk. “Kayaknya lo terlalu semangat deh. Sampai-sampai… bisa jatuh gara-gara nendang bola.” Chelsea menahan tawanya.
“Pulang yuk!”
Chelsea melihat jam tangannya. Memang sudah siang. Sudah hampir jam pulang sekolah juga. Chelsea menghela napas kecewa. Kok rasanya dia nggak mau pisah dari Bagas ya? Chelsea juga nggak mau kebersamaan ini berakhir.
“Kok malah bengong? Mau pulang, nggak?” tanya Bagas. “Eh, tapi sebelum pulang kita makan dulu ya. Gue laper banget. Lo juga pasti laper, kan?”
Tidak perlu menunggu jawaban Chelsea, Bagas sudah menarik tangan Chelsea dan mengajaknya ke warung makan pinggir pantai.

***

Bagas menghentikan motornya di depan rumah Chelsea. Chelsea turun dari motor Bagas. Sesaat mata Chelsea berhenti pada sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Mobil Rafli. Dan Chelsea melihat Rafli sudah berdiri di gerbang rumahnya. Wajah Chelsea langsung pucat. Jantungnya berdebar kencang. Dia tak menyangka Rafli akan datang ke rumahnya.
"Rafli...," ucap Chelsea gugup.
Rafli tetap berdiri di tempatnya. Tatapannya dingin. Tidak lembut seperti biasanya. Padahal sebelumnya Rafli tidak pernah menatapnya seperti itu. Dan pandangan Rafli berpindah pada Bagas. Rafli menatap Bagas dengan tajam.
"Kamu dari mana aja?" tanya Rafli dingin.
"Aku..." Chelsea bingung melanjutkan kata-katanya.
"Kamu tega bohongin aku?" tanya Rafli lagi. Tetap dingin seperti sebelumnya.
Chelsea diam dan menunduk takut. Dia memang telah berbohong.
"Chelsea, tolong jawab!!" Suara Rafli mulai meninggi. "Kamu tau, gimana khawatirnya aku waktu dengar kamu sakit?? Dan kamu tau, aku selalu percaya sama kamu, tapi ternyata kamu tega bohongin aku?! Kamu keterlaluan tau, nggak?!" bentak Rafli.
Air mata Chelsea mulai menetes. Rafli membentaknya. Rafli benar-benar marah padanya.
"Aku... minta maaf," ucap Chelsea di sela-sela isak tangisnya.
Bagas maju selangkah. "Ini semua salah gue. Tolong jangan bentak-bentak Chelsea kayak gitu!" Bagas memohon.
Ucapan Bagas membuat Chelsea mendongak. Kenapa Bagas berkata seperti itu? Ini semua bukan salah Bagas, tapi kemauan Chelsea sendiri.
"Bagas," sela Chelsea.
Tapi Bagas tidak memedulikannya, dia malah melanjutkan kata-katanya, "gue yang udah ajak Chelsea buat bolos. Jadi ini semua salah gue."
"Gue tau, penyebabnya memang lo! Karena gue kenal Chelsea. Dia nggak mungkin mau bolos sekolah kalo nggak kena pengaruh lo. Lo tuh cuma bisa bawa pengaruh buruk ya buat orang lain??" kata Rafli berapi-api.
BUUGHH!!! Sebuah pukulan melayang ke wajah Bagas. Bagas jatuh tersungkur.
"RAFLIII...!!!" teriak Chelsea histeris.
Bagas meringis kesakitan. Tapi dia tidak membalas. Dia mengelap darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.
"Dengar ya! Lo itu udah rusak. Cukup lo aja yang rusak. Nggak usah ngajak-ngajak orang lain, apalagi cewek gue!!"
Bagas hendak berdiri, tapi sebuah pukulan melayang lagi ke wajahnya.
"RAFLIII... STOP!!!" teriak Chelsea lagi. Chelsea berlari menghampiri Bagas untuk melindungi cowok itu. "Aku mohon hentikan!" Chelsea menangis.
Rafli menatap Chelsea tak percaya. "Kamu lebih belain cowok brengsek itu??"
"Aku bukan belain dia. Tapi ini semua bukan salah Bagas. Aku bolos karena kemauan aku sendiri," jelas Chelsea di sela-sela tangisnya. "Jadi tolong jangan pukul Bagas lagi! Bagas nggak salah."
"Apa lagi ini? Kamu bahkan tetap belain dia daripada pacar kamu sendiri?" Rafli makin emosi. "Oke. Sekarang kamu pilih aku atau cowok brengsek itu??"
"Rafli, tolong jangan kayak anak kecil! Ini bukan soal pilihan. Aku cuma nggak suka aja kamu kasar kayak gitu! Bagas nggak salah apa-apa."
Rafli tersenyum sinis. "Aku udah tau jawabannya. Kamu lebih milih cowok brengsek itu, kan?"
"Bukan begitu,"
"Udahlah! Aku kecewa sama kamu, Chel..."
Ucapan Rafli yang terakhir, membuat Chelsea semakin merasa bersalah. Ya, dia memang telah mengecewakan cowok itu.
Setelah itu, Rafli masuk ke mobil dan menutup pintu mobilnya dengan kasar. Rafli pergi, meninggalkan Chelsea yang diam mematung. Air matanya terus mengalir dan tak mau berhenti.
"Chel...," panggil Bagas pelan.
Chelsea tersadar dan buru-buru menghapus air matanya. "Gue obatin luka lo ya?"
Chelsea membantu Bagas untuk berdiri dan masuk ke rumahnya. Chelsea mengambil kotak PPPK dan langsung mengobati luka Bagas.
"Aw... sakit, Chel...," rintih Bagas kesakitan saat Chelsea memberikan obat antiseptic pada lukanya.
"Tahan dulu sebentar!" Chelsea tidak peduli pada rintihan Bagas. Dia tetap mengoleskan obat antiseptic pada luka Bagas.
Kini wajah mereka begitu dekat. Chelsea tidak menyadari kalau Bagas sedang menatapnya sangat dalam. Tapi tidak lama karena setelah itu Bagas mendorong tangan Chelsea. Tujuannya agar dia tidak terlalu lama menatap Chelsea. Yang hanya akan membuat perasaannya semakin dalam dan sulit untuk melupakan Chelsea.
"Udah, Chel," kata Bagas pelan. "Perih..."
Chelsea menghela napas. Lalu membereskan obat-obatnya dan meletakkannya ke meja.
"Maafin Rafli ya, Gas...," ucap Chelsea kemudian. "Nggak seharusnya dia mukulin lo kayak gini."
Bagas tersenyum. "Gue pantes dapetinnya kok, Chel. Karena memang gue-lah yang salah."
Chelsea menggeleng. "Nggak. Lo nggak salah."
Bagas menghela napas, lalu menatap Chelsea dalam-dalam. "Gue yang salah, Chel. Gue udah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan lo. Gue udah berada di tengah-tengah hubungan antara lo dan Rafli. Dan benar kata Rafli... gue juga udah bawa pengaruh buruk buat lo. Maafin gue...," ucap Bagas merasa bersalah.
'Apa maksud kata-kata Bagas? Apa ini kata-kata perpisahan?' batin Chelsea. Ada rasa takut dalam hati Chelsea. Dia tidak mau Bagas pergi. Dia tidak mau kehilangan Bagas.
Bagas menunduk. Memejamkan matanya sesaat. Menyiapkan kata-kata yang akan diucapkan pada Chelsea. Setelah merasa siap, Bagas kembali mendongak.
"Gue... akan pergi, Chel. Gue akan menjauh dari kehidupan lo. Gue akan pergi dari kehidupan lo."
Yang ditakutkan Chelsea terjadi juga. Bagas akan pergi. Dan Chelsea tidak mau itu terjadi. Chelsea tak akan rela jika Bagas pergi.
Chelsea mengerjapkan matanya. Membiarkan air yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya, jatuh begitu saja ke pipinya.
"Nggak! Lo... nggak boleh pergi!" ucap Chelsea di sela-sela isak tangisnya. Kedua tangannya menggenggam tangan Bagas dengan erat, seolah tak mau Bagas pergi.
"Hey... liat diri lo sekarang! Lo nangis gara-gara gue. Gue cuma bisa bikin lo sedih aja." Bagas berucap lembut. "Rafli cowok yang baik buat lo. Lo nggak usah ragu sama perasaan lo sendiri. Gue yakin Rafli bisa buat lo bahagia."
Chelsea menunduk. Isak tangisnya terdengar semakin keras. "Lo nggak boleh pergi!" rengeknya sembari menggucang-guncangkan tangan Bagas.
Bagas menghela napas. Tangannya yang bebas menghapus air mata Chelsea.
"Ini yang terbaik buat lo, Chel. Mulai besok... lo bisa lanjutin hari-hari lo seperti biasanya. Seperti sebelum lo mengenal gue." kata Bagas sambil tetap menatap Chelsea. "Lo bisa kembali menjadi Chelsea seperti sebelum lo mengenal gue. Chelsea yang selalu terlihat cantik, Chelsea yang selalu terlihat rapi, Chelsea yang punya prestasi bagus di sekolah, dan Chelsea yang dikenal sebagai Miss Perfect." Bagas tersenyum sambil mengacak-acak lembut puncak kepala Chelsea.
Chelsea masih menunduk. Air matanya tak mau berhenti. Kenapa dia bisa sesedih ini? Tapi yang dia rasakan saat ini, dia tidak mau kehilangan Bagas.
"Gue pulang dulu ya," pamit Bagas.
Chelsea mendongak. Matanya yang masih basah, menatap Bagas dengan tatapan memohon. Berharap Bagas menarik ucapannya tadi.
"Soal... ucapan gue yang di pantai tadi... lupain aja! Anggap aja gue nggak pernah ngomong."
Bagas melepaskan tangannya dari genggaman tangan Chelsea perlahan. Sesaat dia menatap Chelsea. Tatapannya sangat lembut. Ingin sekali dia memeluk gadis itu, tapi tidak bisa. Gadis itu bukanlah miliknya.
"Gue... pulang dulu," pamit Bagas lagi.
Bagas berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Chelsea sendiri. Sampai di pintu gerbang, Bagas mengelap air matanya yang sudah menetes. Berat rasanya melakukan ini semua, tapi dia harus melakukannya.
Di dalam, Chelsea tetap diam di sofa. Dia tidak mengejar Bagas. Karena memang tidak ada alasan untuk menahan Bagas. Bagas bukanlah siapa-siapanya. Chelsea memejamkan matanya, menumpahkan semua air dari matanya, hingga akhirnya terisak kembali.

***

Bagas masuk ke kamarnya dan duduk terdiam di kamarnya. Mengingat kembali saat-saat indah bersama Chelsea beberapa hari ini. Tapi saat-saat indah itu harus berakhir hari ini.
Dan air mata itu... membuat hati Bagas sakit. Air mata itu menciptakan penyesalan yang teramat dalam di hati Bagas. Andai saja dia tidak masuk dalam kehidupan Chelsea, mungkin semuanya tidak akan begini. Mungkin hubungan Chelsea dan Rafli juga akan baik-baik saja. Dan mungkin... dia tidak akan melihat air mata Chelsea.
Bagas menghela napas. Semoga saja keputusannya sudah benar. Lebih baik dia menjauh dari kehidupan Chelsea. Rafli jelas seribu kali lebih baik darinya. Chelsea pasti lebih bahagia bersama Rafli. Bagaimana perasaannya tidaklah penting, yang penting adalah kebahagiaan Chelsea.

***

Chelsea duduk di depan ruang OSIS. Satu jam sudah Chelsea menunggu, tapi rapat OSIS belum juga berakhir. Dia harus berbicara dengan Rafli. Setelah kejadian kemarin, Rafli terus mendiamkan Chelsea. Beberapa kali Chelsea mencoba menelepon Rafli, tapi Rafli tidak mau menjawab panggilannya. Dan saat istirahat tadi, Chelsea ke kelas Rafli, tapi Rafli tidak ada di kelasnya. Sepertinya Rafli sengaja menghindari Chelsea.
Berdasarkan info yang Chelsea terima dari teman sekelas Rafli, Rafli akan mengadakan rapat OSIS sepulang sekolah. Jadi sekarang Chelsea menunggu di depan ruang OSIS sampai rapat itu selesai.
Akhirnya rapat selesai. Beberapa anggota OSIS lainnya keluar ruangan. Chelsea tersenyum pada beberapa anak yang lewat di depannya. Setelah mulai sepi, Chelsea mencoba masuk ke ruang OSIS. Terlihat Rafli seperti sedang mengarahkan sesuatu dari laptop-nya pada Cindai, sekretaris OSIS.
Rafli yang jelas sadar dengan kedatangan Chelsea, pura-pura tidak melihat dan tetap konsen pada laptop-nya.
"Rafli...," panggil Chelsea pelan.
Cindai yang sadar kalau ada sesuatu yang akan dibicarakan Chelsea pada Rafli, langsung berkata, "Ya udah, Raf... gue pulang dulu ya?" pamit Cindai.
"Oke. Gue tunggu proposalnya tiga hari lagi ya." ujar Rafli.
"Sip!" Cindai memakai tas selempangnya dan berdiri. "Gue duluan ya, Chel," pamitnya pada Chelsea. Chelsea tersenyum dan mengangguk.
Setelah Cindai keluar ruangan, Chelsea berjalan mendekati Rafli. Rafli tetap cuek.
"Raf, aku... mau ngomong sama kamu," ucap Chelsea ragu. Kalau melihat dari raut wajah Rafli, sepertinya Rafli masih belum bisa diajak bicara.
Terbukti, Rafli tetap cuek dan menganggap Chelsea tidak ada. Dia membereskan laptop-nya dan buku-bukunya yang ada di meja, sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya.
Chelsea mulai putus asa. "Rafli, tolong jangan diemin aku kayak gini! Kamu bisa marah-marah sama aku, tapi tolong jangan diam aja!"
Rafli menatap Chelsea dingin. "Udah kan ngomongnya?" Rafli memakai tas ranselnya dan berjalan menuju pintu.
Sebelum Rafli keluar ruangan, Chelsea sudah lebih dulu berlari dan memeluk Rafli dari belakang. Rafli tersentak kaget.
"Aku minta maaf...! Aku tau, aku salah. Aku udah bohongin kamu. Aku... menyesal. Aku benar-benar minta maaf..." Chelsea menangis sesenggukan.
Rafli tetap bergeming. Pelukan Chelsea saat ini, membuat kemarahannya sedikit mereda. Dia memang sangat marah pada Chelsea. Dia kecewa karena telah dibohongi. Tapi dia tidak bisa membohongi dirinya kalau dia sangat merindukan gadis itu. Seharian mendiamkannya, sungguh membuatnya tersiksa.
"Aku minta maaf...," ucap Chelsea lagi.
Rafli melepaskan tangan Chelsea yang memeluknya, lalu berbalik. Rafli memegang kedua lengan Chelsea dan menatapnya dalam-dalam.
"Kamu tau apa yang aku rasain sekarang? Aku marah, karena kamu tega bohongin aku. Aku kecewa, karena kamu udah khianatin kepercayaan aku. Aku cemburu, waktu liat kamu sama Bagas. Hati aku sakit, karena kamu lebih membela Bagas daripada aku. Dan... aku takut, Chel... aku takut kehilangan kamu," kata Rafli sedih.
Chelsea menunduk. “Maafin aku, Raf…,” ucapnya lirih.
Perlahan Rafli meraih Chelsea ke dalam pelukannya. Chelsea membalas pelukan itu. Air mata Chelsea berhenti. Apa artinya Rafli sudah memaafkannya?
"Aku menyesal karena aku udah bohongin kamu. Aku minta maaf. Aku janji nggak akan ngulanginnya lagi. Kamu mau maafin aku, kan?" tanya Chelsea yang masih berada dalam pelukan Rafli.
Rafli diam sejenak, kemudian tersenyum. "Aku maafin kamu. Bisa mati kangen kalo aku diemin kamu lama-lama." Rafli tertawa kecil.
Chelsea ikut tertawa. 'Mungkin ini yang terbaik. Gue nggak akan sia-siain cowok sebaik Rafli.'

***

Bagas duduk bersandar pada pohon di pinggir lapangan. Pandangannya kosong. Sudah sejak satu jam yang lalu dia memilih berdiam diri, padahal teman-teman sekelasnya yang lain berolahraga di lapangan.
"Woi!" Difa menepuk pundak Bagas.
Bagas terlonjak kaget, lalu melirik Difa kesal. "Rese lo!"
Difa tertawa keras. "Ada orang lagi galau!" katanya sambil berusaha menahan tawanya.
"Ck!" Bagas berdecak dan berniat pergi, tapi Difa menahannya.
"Weits... jangan ngambek, bro! Gue bercanda." Difa nyengir kuda. "Lagian..." Difa menggantungkan ucapannya, membuat Bagas menoleh karena penasaran, "lo kan playboy, pinter ngerayu cewek lagi! Nggak pernah galau gara-gara cewek. Kalo lo suka sama Chelsea, lo kejar aja! Masalah Chelsea suka sama siapa belakangan. Yang penting lo udah usaha."
Masalah perasaannya pada Chelsea, Bagas memang sudah bercerita dengan Difa. Difa memang yang paling dekat dengannya karena mereka sudah bersahabat dari SD.
"Nggak tau lah, Dif...," kata Bagas pasrah.
Difa menghela napas. Selama mengenal Bagas, belum pernah dia melihat Bagas seputus asa ini.

***

"Chelsea!"
Panggilan Rafli yang ketiga baru berhasil menyadarkan Chelsea ke alam nyata.
"Eh, kenapa, Gas?" tanya Chelsea kaget.
Rafli mengerutkan keningnya. “Gas?”
“Eh…” Chelsea tersadar dan segera menutup mulutnya. Dia merutuki dirinya sendiri karena begitu bodohnya sudah salah menyebut nama. “Ng… tadi… lo bilang apa?” Chelsea gelagapan.
Rafli menghela napas kecewa. Dia sudah bercerita panjang lebar, tapi ternyata Chelsea tidak mendengarkannya. Dan parahnya, Chelsea menyebut nama orang lain, bukan namanya.
"Nggak apa-apa. Lupain aja!"
Chelsea merasa tidak enak. "Sorry ya, Raf... Aku tadi..."
"Iya, nggak apa-apa," potong Rafli. "Sekarang kamu istirahat ya. Mungkin karena kamu lagi kecapekan aja." Rafli membelai lembut rambut Chelsea sambil tersenyum.
'Duh... bego banget gue!' dalam hati Chelsea Chelsea menyalahkan dirinya sendiri. Melihat senyuman Rafli, membuat Chelsea semakin merasa bersalah. Bahkan cowok itu tidak marah, di saat pacarnya salah menyebut nama cowok lain di hadapannya.
"Aku... minta maaf." Chelsea benar-benar menyesal.
"Udahlah...! Aku pulang dulu ya?" pamit Rafli. Chelsea mengangguk.
Lalu Rafli memeluk Chelsea dengan erat, seolah tak mau kehilangan gadis itu. Setelah melepas pelukannya, Rafli menatap Chelsea dalam-dalam. Chelsea memang sedang di hadapannya, tapi Rafli tahu kalau pikiran cewek itu berada di tempat lain.
Rafli menunduk dan tersenyum kecut. Dia tahu ada seseorang di dalam hati Chelsea, tapi orang itu bukanlah dirinya. Ya... ada orang lain yang menempatinya di sana. Menggantikan posisinya.
Rafli kembali mendongak. Dia mencoba menahan rasa sakit di hatinya saat ini. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, dia berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Chelsea sendiri.
Mobil Rafli sudah pergi. Tapi Chelsea masih berdiri mematung di teras rumahnya. Kenapa dia bisa memikirkan cowok lain saat bersama Rafli? Dia menyesal. Chelsea bisa melihat kekecewaan di wajah cowok itu. Rafli adalah cowok baik dan Chelsea sudah mengecewakannya.

***

Bagas berdiri dan bersandar pada dinding di depan kelasnya. Bel masuk baru akan berbunyi tiga puluh menit lagi. Tiba-tiba tatapannya tertuju pada Chelsea yang akan berjalan melewati kelasnya. Sudah seminggu ini Bagas mati-matian menghindari Chelsea. Dan sekarang… Chelsea akan melewati kelasnya. Dia tidak bisa lagi menghindar. Chelsea sudah terlanjur melihatnya.
Bagas memutar otaknya. Sebuah ide muncul ketika dia melihat Salma, cewek yang sudah lama naksir Bagas, sedang berjalan berlawanan arah dengan Chelsea. Bagas mendekati Salma sambil tersenyum manis.
“Hai, Salma…,” sapa Bagas masih dengan senyuman manisnya.
Salma yang masih tidak percaya karena Bagas menyapanya, hanya bisa bengong. Sementara Chelsea menghentikan langkah karena Bagas dan Salma berada tengah jalan dan menghalangi jalannya.
"Cantik banget lo hari ini." Bagas merangkul Salma.
Salma langsung melayang dan wajahnya merah merona. "Gue... nggak salah denger, kan? Lo bilang gue cantik?" tanyanya tak percaya.
"Ya iya lah, di sekolah ini... lo yang paling cantik," kata Bagas gombal.
Bagas melirik Chelsea yang berdiri tidak jauh darinya. Dia bisa melihat raut wajah terkejut dari Chelsea. Wajah Chelsea juga terlihat pucat.
"Nanti pulang sekolah mau nonton bareng gue, nggak?" tanya Bagas.
Mata Salma melebar. Dengan Bagas memujinya saja sudah membuatnya terbang, sekarang ditambah lagi dengan ajakan Bagas buat nonton. Salma masih merasa ini semua hanya mimpi. Soalnya sebelum-sebelumnya dia sering mengajak Bagas untuk jalan, tapi Bagas selalu menolak. Tapi sekarang, tidak ada angin dan tidak ada hujan, Bagas berbalik mengajaknya.
"Mau. Mau banget!" jawab Salma semangat. Dia tidak perlu berpikir dua kali untuk menerima ajakan Bagas.
"Oke sayang, nanti gue jemput ke rumah lo ya," kata Bagas lagi.
Chelsea membuang muka dan berjalan cepat menjauhi Bagas dan Salma.

***

"Say, kok didiemin aja makanannya?" tanya Rafli saat melihat Chelsea belum menyentuh siomay-nya sedikit pun.
Chelsea yang sedang melamun, tersentak kaget. "Eh? Iya, ini... mau dimakan kok." jawab Chelsea gugup sambil mengaduk-aduk siomay di hadapannya.
"Kamu kenapa sih? Kok diam aja? Atau... kamu lagi nggak enak badan?" tanya Rafli khawatir.
Chelsea tersenyum, mencoba mengusir kekhawatiran di wajah Rafli. "Nggak. Aku baik-baik aja kok."
Bagas dan Difa memasuki kantin. Seperti biasanya, dengan gaya sok berkuasanya, Bagas mengusir adik kelasnya untuk mendapatkan tempat duduk. Bagas sengaja memilih meja di dekat meja Chelsea. Sesaat mata Bagas dan Chelsea bertemu, tapi Chelsea buru-buru memalingkan wajahnya.
"Oca cantik, gabung sama kami aja!" tawar Bagas pada salah satu adik kelasnya yang sedang kebingungan mencari tempat untuk duduk.
Oca menoleh dan sedikit terkejut. "Kak Bagas nawarin aku?" Wajahnya yang imut jadi bertambah lucu. Membuat Bagas tersenyum geli.
"Ya iya lah." Bagas menggeser duduknya. "Sini duduk di sebelah gue!" katanya sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya.
Wajah Oca berubah senang. "Waah... makasih, Kak."
Oca duduk di sebelah Bagas. Sementara Difa cuma geleng-geleng kepala. Difa tahu, sahabatnya yang patah hati ini sepertinya sedang mencoba menghibur diri. Walaupun bukan hanya sekali-dua kali Bagas merayu cewek, tapi kelihatan sekali kalo yang sekarang terlalu dipaksakan dan dibuat-buat.
"Nanti lo pulang sekolah sama siapa?" tanya Bagas pada Oca.
"Aku biasanya naik angkot, Kak."
"Oh..." Bagas manggut-manggut. "Gue anterin mau?"
Wajah polos Oca terlihat kaget dan tak percaya. "Kak Bagas serius?"
Bagas tertawa. "Iya. Mau, kan?"
"Mmm... mau, Kak," jawab Oca malu-malu. Terlihat sekali pipinya mulai merona.
Bagas tersenyum melihat wajah Oca yang malu-malu.
Dari meja sebelah, Chelsea mati-matian mencoba menguatkan hatinya. Matanya mulai panas. Hingga dia tak sanggup lagi melihat semuanya dan akhirnya berpamitan dengan Rafli untuk ke toilet. Chelsea pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Rafli.

***

Chelsea menutup pintu toilet dan bersandar pada pintu itu. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Hatinya begitu sakit saat melihat Bagas merayu cewek lain.
Chelsea kembali mengingat kebersamaannya dengan Bagas saat di pantai. Bagas berbeda dari biasanya. Perlakuannya saat itu sangat manis dan lembut. Bagas juga menyatakan perasaannya pada Chelsea. Lalu apa arti semua itu jika Bagas masih merayu cewek lain? Apa Bagas tidak serius waktu itu? Apakah semua ini hanya permainan seorang playboy?
Chelsea tahu, kalau tidak seharusnya dia merasa seperti ini. Dia sudah mempunyai Rafli. Tapi kenapa hatinya sakit saat melihat Bagas merayu Salma. Hatinya bertambah sakit saat melihat Bagas merayu Oca di kantin. Melakukan keduanya tepat di depan Chelsea. Kenapa Bagas bisa setega ini?
Air mata Chelsea terus menetes dan tak mau berhenti. Jujur dia cemburu saat melihat Bagas bersama cewek lain. Dan dia baru menyadari perasaan yang sesungguhnya. Chelsea mulai jatuh cinta pada Bagas...
Setelah merasa sedikit tenang, Chelsea merapikan dandanannya, lalu keluar dari toilet. Ternyata Rafli sudah menunggunya di depan toilet. Wajah Rafli terlihat cemas. Begitu melihat Chelsea, Rafli langsung mendekat.
"Say, kamu kenapa?" tanya Rafli khawatir. "Kamu habis nangis?"
Meskipun Chelsea sudah menghapus air matanya, tapi tetap terlihat kalau Chelsea habis menangis. Matanya terlihat sembap.
"Nggak kok," jawab Chelsea berbohong. "Raf, aku... nggak enak badan. Aku... mau ijin ke UKS," ucap Chelsea. Suaranya sedikit serak akibat dia baru saja menangis.
"Ya udah, aku anter ya,"
Chelsea mengangguk. Rafli mengantar Chelsea sampai ke UKS. Rafli tahu kalau Chelsea berbohong. Sudah jelas kalau Chelsea baru saja menangis, dan Rafli tahu betul apa penyebabnya.

***

Ekskul basket sudah selesai lima belas menit yang lalu. Tapi Bagas masih betah di lapangan. Beberapa kali dia memasukkan bola ke dalam ring, tapi seringkali gagal. Terakhir, bola itu meleset ke pinggir lapangan hingga seseorang menangkapnya. Rafli.
Rafli berjalan mendekati Bagas sambil men-dribble bolanya. Tatapan matanya tajam dan tidak lepas dari Bagas. Bagas balas menatap Rafli sama tajamnya. Terlihat sekali ada persaingan di antara mereka.
"Berani lawan gue?" tanya Rafli tajam.
"Siapa takut?" balas Bagas tajam.
Bagas merebut bola itu dari tangan Rafli. Dia terus men-dribble bola itu dan memasukkannya ke dalam ring. Masuk!
Rafli dengan sigap merebut bola itu. Dia pun berhasil memasukkan bola itu dalam ring.
Begitu seterusnya. Mereka saling berebut bola untuk mendapatkan poin. Pertandingan pun sudah berlangsung lama dan panas. Bahkan masing-masing disertai dengan emosi. Tak jarang mereka saling menyikut, mendorong atau bahkan menendang.
"GUE KESAL TAU NGGAK SAMA LO!!!" bentak Rafli sambil melempar bolanya tepat ke perut Bagas dengan keras. Emosinya mulai memuncak.
"Arrgghhh...!" Refleks tubuh Bagas terhuyung ke belakang dan nyaris terjatuh. Untung saja tangannya dengan cepat memegang tiang ring basket.
"Kenapa sih, Chelsea lebih milih cowok kayak lo dibandingkan dengan gue???" tanyanya emosi.
Bagas mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah akibat pertandingan basketnya tadi. "Apa maksud lo??" tanyanya meminta penjelasan.
"CHELSEA SUKA SAMA LO, BEGO!!" jawab Rafli dengan nada tinggi.
Bagas tertegun. Masih tak percaya dengan kata-kata Rafli. Benarkah yang dikatakan Rafli? Apa benar Chelsea menyukainya?
Rafli menghela napas keras. Dia pun sedang berusaha mengatur napasnya. Pandangannya menerawang jauh entah ke mana.
"Selama ini gue terlalu yakin kalau Chelsea sangat mencintai gue. Selama ini gue selalu berusaha buat jadi yang terbaik buat dia. Gue selalu berusaha buat bikin dia bahagia. Dan gue juga selalu berusaha buat terlihat sempurna di mata dia. Jadi gue berpikir kalau dia nggak akan berpaling dari gue." Rafli tertawa miris. "Tapi ternyata gue salah. Seseorang masuk ke dalam kehidupan dia. Dan dalam waktu sekejap, seseorang itu mampu masuk ke hatinya."
Bagas masih diam mematung.
"Yang gue heran, kenapa seseorang itu harus lo?? Jelas-jelas gue lebih segala-galanya dari lo, tapi kenapa Chelsea milihnya lo? Apa yang dia liat dari cowok brengsek kayak lo??" Rafli menarik kerah baju Bagas dan menatapnya geram. "Dan lo... dengan seenaknya aja udah masuk ke hidup Chelsea dan sekarang lo ninggalin dia gitu aja! Bahkan lo tega bikin dia nangis! Cowok macam apa lo??" Rafli melepaskan kerah baju Bagas dengan kasar.
"Terus gue harus gimana?? Apa gue harus rebut dia dari lo?!" tanya Bagas marah.
"Kalo lo bisa lakuin itu, kenapa nggak lo lakuin aja, hah??"
Bagas menghela napas. Mencoba menenangkan dirinya. "Karena gue sadar, gue nggak pantes buat dia. Cuma lo yang bisa bikin dia bahagia. Jadi... gue putusin buat mundur."
"Tapi gue yakin Chelsea lebih bahagia sama lo."
Bagas mendongak dan menatap Rafli tidak mengerti. Apa maksud ucapan Rafli.
Tiba-tiba HP Rafli bergetar. Ada panggilan masuk. Rafli mengambilnya dan menatap layar HP-nya. Nama "My Lovely" muncul di layar HP-nya dan Rafli tersenyum tipis. Rafli menunjukkan HP-nya pada Bagas.
"Chelsea lagi nungguin gue di taman. Sekarang lo gantiin gue ya? Lo temuin dia di sana!" ucap Rafli. Sepertinya emosinya mulai mereda.
Bagas mengerutkan keningnya. "Maksud lo?"
Rafli tersenyum. "Gue udah ngelepasin Chelsea. Jadi mulai sekarang, lo yang jagain dia. Buat dia bahagia dan jangan pernah sakitin dia! Karena kalo lo sampe sakitin dia, gue nggak akan segan-segan rebut dia kembali dari lo."
Bagas masih diam dan memandang Rafli tak percaya.
"Malah bengong lagi. Buruan temuin dia!"
Bagas tersenyum bahagia sambil menepuk pundak Rafli. "Thanks ya, Raf!"

***

Chelsea memandang jamnya berkali-kali. Sudah setengah jam dia menunggu, tapi Rafli belum datang juga. Ditelepon berkali-kali juga tidak ada jawaban. Tidak biasanya Rafli seperti ini. Padahal Rafli tahu kalau Chelsea sangat tidak suka orang yang tidak tepat waktu.
Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Chelsea menoleh. Matanya langsung membulat saat melihat Bagas sudah duduk di sampingnya. Bagas tersenyum manis. Jujur saja membuat Chelsea kaget.
"Ngapain lo di sini?" tanya Chelsea ketus.
Kalau mengingat kejadian kemarin, saat Bagas merayu cewek lain di depannya, membuat hati Chelsea sakit. Dan yang membuat Chelsea kesal, dengan bodohnya dia menangisi cowok itu semalaman.
"Ini kan tempat umum, jadi siapa aja boleh dateng ke sini termasuk gue, kan?" jawab Bagas santai.
"Bilang aja lo mau kencan sama Salma, Oca, atau cewek-cewek lo yang lain!"
Bagas menaikkan alisnya dan menatap wajah Chelsea lekat-lekat. Membuat Chelsea salah tingkah.
"Bilang aja lo cemburu!" kata Bagas sambil tersenyum nakal.
"Siapa yang cemburu??" Chelsea makin salah tingkah.
Chelsea buru-buru memalingkan wajahnya agar Bagas tidak melihat pipinya yang sudah memerah. Tapi Bagas sudah terlanjur melihatnya. Dia tersenyum dan ingin menggoda Chelsea lagi. Senyumnya juga makin mengembang saat melihat Chelsea memakai jepit rambut pemberian darinya saat di pantai waktu itu.
“Ngaku aja!" goda Bagas lagi.
"Apaan sih lo?" Chelsea mulai kesal. "Mendingan lo pergi dari sini deh, sebelum Rafli datang ke sini dan salah paham liat kita lagi berduaan!"
"Rafli nggak bakalan datang." Bagas menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku.
"Sok tau banget sih lo! Dia pasti datang!"
"Berani taruhan?" tanya Bagas dan membuat Chelsea menoleh menatapnya. "Kalo tebakan gue benar, lo harus mau jadi pacar gue. Tapi kalo tebakan gue salah…” Bagas berpikir, “tapi tebakan gue nggak mungkin salah. Rafli memang nggak akan datang. Kan gue yang gantiin dia di sini.”
“Dasar orang gila!”
"Kan lo yang udah buat gue gila."
Chelsea tak memedulikan ucapan Bagas. Dia gelisah karena Rafli tidak datang juga. Akhirnya dia kembali meneleponnya. Tetap tidak diangkat. Chelsea makin gelisah.
"Kan udah gue bilang, Rafli nggak bakalan datang." celetuk Bagas.
Chelsea tak membalas, tapi hanya melirik Bagas kesal. Keberadaan Bagas membuatnya tidak nyaman. Dia tidak mau kalau sampai Rafli melihatnya dan salah paham lagi. Dia memutuskan untuk pergi saja dari tempat itu.
Di saat Chelsea sudah berdiri, Bagas ikut berdiri dan menahan tangan Chelsea. Hanya dalam hitungan detik, Bagas sudah meraih Chelsea ke dalam pelukannya. Chelsea tertegun. Tubuhnya terasa membeku. Lidahnya pun terasa kelu untuk berkata-kata. Tapi ada perasaan hangat yang menjalar ke dalam hati Chelsea. Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu.
"Tolong jangan pergi!" pinta Bagas lirih.
Mata Chelsea berkaca-kaca. Apa maksudnya ini? Bukankah kemarin Bagas-lah yang pergi meninggalkannya? Bagas-lah yang sudah menyakiti hatinya? Lalu kenapa sekarang dia memintanya untuk tidak pergi?
Kedua tangan Chelsea mendorong tubuh Bagas perlahan. Terpaksa Bagas melepaskan pelukannya.
Chelsea memberanikan diri menatap wajah Bagas dari dekat. "Bukannya kemarin lo sendiri yang memutuskan untuk pergi dari gue? Lalu kenapa sekarang lo nahan gue buat pergi?"
"Gue tau, gue salah, Chel. Nggak seharusnya gue pergi ninggalin lo. Nggak seharusnya gue bikin lo sedih. ” Bagas menghela napas. “Tapi… sekarang gue sadar. Gue nggak akan pergi dari lo lagi. Gue akan selalu ada di samping lo dan akan selalu jagain lo sampai kapan pun. Gue juga akan selalu berusaha jadi yang terbaik buat lo. Gue cinta sama lo, Chel. Apa… lo mau jadi pacar gue?”
Chelsea tertegun kembali. Perasaannya campur aduk, antara senang, bahagia, terharu, tapi juga… bingung. Chelsea pun mempunyai perasaan yang sama terhadap Bagas, tapi tidak mungkin dia menerimanya. Dia sudah memiliki Rafli. Dia tidak mau menyakiti cowok itu.
“Maaf, Gas… gue nggak bisa,” jawab Chelsea pelan.
“Tapi lo juga punya perasaan yang sama seperti gue, kan?” tanya Bagas memastikan.
“Gue nggak akan jawab pertanyaan itu.” Chelsea berbalik dan melangkah pergi.
“Apa karena Rafli?”
Pertanyaan Bagas membuat langkah Chelsea terhenti. Chelsea diam mematung.
“Kalo Rafli nggak ada, apa lo mau terima gue?” tanya Bagas lagi.
Chelsea tetap tidak menjawab. Bersamaan dengan itu, HP-nya berbunyi. Rafli meneleponnya. Chelsea segera menjawab panggilan itu.
“Hallo, Raf…!” sapa Chelsea.
“Apa cowok pengecut itu udah nyatain perasaannya ke kamu?” tanya Rafli tiba-tiba dari seberang.
Deg! Jantung Chelsea terasa berhenti berdetak. “Maksud kamu apa?”
“Bagas udah ngungkapin perasaannya ke kamu, kan?”
Chelsea terperangah. “Jadi… ini semua rencana kamu??”
Rafli tertawa kecil. “Jadi… apa jawabannya? Kamu terima dia, kan?”
“Rafliii…”
“Chel, kalo kamu punya perasaan yang sama terhadap Bagas, aku nggak akan menghalangi kamu. Kamu bisa kejar cinta kamu.”
“Tapi, Raf…”
Lagi-lagi Rafli memotong ucapan Chelsea, “kamu nggak usah pikirin perasaan aku. Aku nggak apa-apa. Melihat kamu bahagia, meskipun bukan bersamaku, itu udah cukup buat aku, Chel.”
Chelsea diam tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Dia sangat terharu mendengar ucapan Rafli.
“Aku udah ngelepasin kamu, Chel. Jadi… sekarang kamu bisa kejar cinta kamu yang sesungguhnya.
Chelsea tersenyum bahagia. “Makasih, Raf…”
Setelah Rafli menutup teleponnya, Chelsea berbalik menghadap Bagas. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah senyuman manis Bagas. Untuk kesekian kalinya, Chelsea terpesona dengan senyuman itu. Dan Chelsea membalas senyumannya.
“Jadi gimana?” tanya Bagas kembali.
“Ya, aku mau jadi pacar kamu,” jawab Chelsea sembari tersenyum.
Senyum kembali mengembang di bibir Bagas. Bagas berjalan mendekat dan langsung memeluk Chelsea.
“Makasih ya…,” ucap Bagas.
Chelsea mengangguk. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Tapi tiba-tiba Chelsea melepaskan pelukannya.
“Kenapa?” tanya Bagas heran.
“Badan lo bau. Lo belum mandi ya?”
“Hah?” Bagas membelalakkan matanya. “Masa sih?” Bagas mencoba mencium badannya.
Bagas memang belum mandi. Apalagi dia baru saja ekskul basket. Biarpun dia sudah mengganti bajunya dengan seragam yang sudah disemprot parfum satu botol sekalipun, tetap saja kalah dengan bau keringatnya.
“Gue memang belum mandi.” Bagas nyengir kuda. “Gue kan takut lo keburu diambil orang. Makanya gue buru-buru ke sini,” Bagas beralasan.
“Alasan aja lo. Dasar jorok!”
“Yang penting kan tetep ganteng,” sahut Bagas. “Dasar Miss Perfect!” Bagas mencubit pipi Chelsea gemas.
“Aw… sakit tau!” Chelsea cemberut. Bagas tertawa geli. “Lagian… gue bukan Miss Perfect kok. Karena gue bukanlah orang yang sempurna. Tapi gue butuh seseorang yang bisa melengkapi kekurangan gue agar bisa menjadi sempurna. Dan seseorang itu adalah lo.” Chelsea tersenyum.
Bagas tersenyum sambil mengacak-acak rambut Chelsea penuh sayang. “Makin cinta deh gue sama lo.” Bagas merangkul Chelsea. “Pulang yuk!”
Bagas dan Chelsea melangkah keluar taman. Kebahagiaan menyelimuti keduanya. Langit sore pun ikut menyaksikan kedua insan yang sedang jatuh cinta itu.
“Eh, kita foto dulu ya, Gas…” Chelsea mengangkat HP-nya dan…

Klik!



-SELESAI-


Terima kasih yang sudah membaca...
Jangan lupa comment ya ^^


Buat yang mau baca sequel-nya bisa klik di sini -> Ms. Perfect & Mr. Jail 2 (Sequel - Cerpen Chelgas)

6 komentar:

  1. Ini keren banget Kak, apalagi yg endingnya:D aaa buat ngefly, Bagas jail tapi aku suka banget waktu ngegodain Chelsea sampe aku ketawa sendiri Kak;D trus yg bagian rada nyesek yaitu waktu Bagas mau ninggalin Chelsea, gilaa itu aku sampe nangis wkwk:" pokoknya keren keren hehew, pertamanya sih ya gitu rada jengkel sama Bagas saking jailnya sama Chelsea wkwk. Lain kali klo ada waktu dan ide, buat cerpen ChelGas lagi ya Kaka:)) hehew

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya agak ragu waktu mau nge-post cerita ini. Banyak kata-kata yg masih harus di-edit, api udah terlanjur pengen langsung di-post, hehehe...
      Oke, kalo ada ide lagi yaa. Kadang-kadang udah ada ide, tapi males nulisnya. Hihihi...
      Makasih ya udah mau baca ^^

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...